oleh : Zulkarnen,S.Pd
Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Lhokseumawe
I. PENDAHULUAN
Kata
ilmu dengan asal 3 huruf (ain, lam, mim) disebutkan 779 kali dalam Kitabullah.
Selain itu, terdapat lebih banyak lagi kalimat yang mengarah pada makna ilmu,
tapi tidak disebutkan menurut lafadznya. Seperti: yaqin, huda, akal, al-fikru,
nazhar, hikmah, fiqih, burhan, dalil, hujjah, ayat, bayyinah, dan lain-lain.
Sementara dalam sunnah nabawiyah, menghitung kalimat ilmu hampir merupakan hal
yang mustahil, karena saking banyaknya. (Prof. Dr. Raghib As-Sirjani).[1]
Ilmu adalah bekal
setiap manusia untuk menjalani kehidupan dan islam sendiri sangat mengedepankan
ilmu pada ummatnya bahkan bisa dikatakan inti dalam islam adalah ilmu seperti
yang disampaikan Prof. Raghib diatas. Dalam Al quran sendiri sebagai kitab suci
Ummat Islam Allah menwahyukan lima ayat yang pertama kepada Rasul SAW adalah anjuran untuk berilmu yaitu di surat Al
Alaq ayat 1 -5
Artinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,Dia Telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha
pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al alaq : 1-5)
.[2]
Dari ayat diatas tercermin bahwa islam adalah agama yang
mengedepankan ilmu dan menempatkan ilmu di urutan pertama dalam berbagai hal.
Rasulullah SAW sendiri dalam mengembangkan Islam di Awal – awal periode mekkah menyampaikan
ilmu kepada sahabat secara rahasia di rumah Arqam bin Abil Arqam seperti
tersebut dalam buku sirah nabawiyah bahwa disanalah Rasulullah memulai
mentarbiyah para sahabatnya.
Awal kemunculan dan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia
lslam tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan Islam itu sendiri. Dalam
tempo lebih kurang 25 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad shalallahu
‘alaihi wa sallam (632M), kaum Muslim telah berhasil menaklukkan seluruh
jazirah Arabia dari selatan hingga utara. Ekspansi dakwah yang dalam sejarah
Islam disebut sebagai “pembukaan negeri-negeri” (futuh al-buldan) ini
berlangsung pesat dan tak terbendung. Bagai diterpa gelombang tsunami, satu
persatu, kerajaan demi kerajaan dan kota demi kota berhasil ditaklukkan dan
dianeksasi. Sehingga tidak sampai satu abad, pada 750 M, wilayah lslam telah
meliputi hampir seluruh luas jajahan Alexander the Great di Asia
(Kaukakus) dan Afrika Utara (Libya, Tunisia, Aljazair, dan Maroko), mencakup
Mesopotamia (Irak), Syria, Palestina, Persia (Iran), Mesir, plus semenanjung
lberia (Spanyol dan Portugis), dan lndia.[3]
Pelebaran
sayap dakwah lslam itu tentu saja bukan tanpa konsekuensi. Seiring dengan
terjadinya konversi massal dari agama asal atau kepercayaan lokal ke dalam
lslam, terjadi pula penyerapan terhadap tradisi budaya dan peradaban setempat.
Proses interaksi yang berlangsung alami namun pesat ini tidak lain dan tidak
bukan adalah gerakan ″islamisasi” (atau apapun namanya, seperti ″naturalisasi″,
″integralisasi″, ″asimilasi″ dan lain sebagainya), dimana unsur-unsur dan
nilai-nilai masyarakat lokal ditampung, ditampih, dan disaring dulu sebelum
kemudian diserap. Hal-hal yang positif dan
sejalan dengan lslam dipertahankan, dilestarikan dan dikembangkan. Sementara
elemen-elemen yang tidak sesuai dengan kerangka dasar ajaran lslam ditolak dan
dibuang. Proses ini digambarkan dengan sangat baik oleh sejarawan sains Muslim
terkemuka, Seyγed Hossein Nasr, sebagai berikut “Dalam kedua kasus tersebut
(yakni kemunculan sains di dunia lslam dan Eropa Barat) memang ada masa
pemindahan, namun ada juga masa pengunyahan, pencernaan, dan penyerapan yang
juga berarti penolakan. Tidak pernah ada sains yang diserap ke dalam sebuah
peradaban tanpa penolakan sedikitpun. Mirip dengan tubuh kita. Kalau kita cuma
makan saja, tetapi badan kita tidak mengeluarkan sesuatu, maka dalam beberapa
hari saja, kita akan mati. Sebagian makanan perlu diserap, sebagian lagi harus
dibuang′′ [4]
Berarti
sejak zamannya Rasullah SAW, hingga zaman Kulafaurrasyidin, Dinasty Umayyah,
Abbasiyah, era kemunduran hingga saat ini Islamisasi Ilmu dan ilmuisasi Islam
terus dilakukan walaupun masih tersendat sendat seiring perkembangan zaman dan tuntutan tuntutan masa di era globalisasi
ini.
II.
ISLAMISASI ILMU, ILMUISASI ISLAM DAN INTEGRASI ILMU
A. Pengertian
Berikut berbagai
pengertian, istilah dan pemahaman tentang ilmu,
islamisasi ilmu, ilmuisasi Islam dan integrasi Ilmu baik secara teoritis
dan idiologis maupun secara praktis dan
metodologis tentunya menurut tokoh tokoh dibidangnya.
Islamisasi ilmu pengetahuan bisa dipahami sebagai internalisasi
konsep-konsep Islam terhadap ilmu pengetahuan. Artinya, setiap ilmu pengetahuan
yang berkembang harus mempunyai nilai-nilai islamnya. Dalam konsep ini, islam
menjadi nilai (satu-satunya) bagi ilmu pengetahuan.
Menurut kamus komtemporer Islamisasi; artinya adalah pengIslaman, pengIslaman dunia, bisa
juga usaha meng Islamkan dunia.[5] Sedangkan dalam sebuah buku filsafat
disebutkan bahwa, Ilmu
adalah merupakan cara berfikir dalam menghasilkan suatu
kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan. Ilmu merupakan produk
dari proses berfikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum
dapat disebut sebagai berpikir ilmiah[6]
Dalam bahasa arab, istilah islamisasi
ilmu dikenal dengan “Islamiyyat al-ma’rifat” dan dalam bahasa inggris disebut
dengan “Islamization of Knowledge”. Islamisasi ilmu merupakan istilah
yang mendiskripsikan berbagai usaha dan pendekatan untuk mensitesakan antar
etika islam dengan berbagai bidang pemikiran modern. Produk akhirnya akan
menjadi ijma’ (kesepakatan) baru bagi umat islam dalam bidang keilmuan yang
sesuai dan metode ilmiah tidak bertentangan dengan norma-norma islam.[7]
Menurut Mulyadhi
Kartanegara, Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan naturalisasi sains (ilmu
pengetahauan) untuk meminimalisasikan dampak negatif sains sekuler terhadap
sistem kepercayaan agama dan dengan begitu agama menjadi terlindungi.[8]
Secara teoritis dan
ideologis,
Syed M. Naquib al-Attas mendefenisikan islamisasi ilmu pengetahuan sebagai: pembebasan
manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang
bertentangan dengan Islam) dan dari belengu paham sekuler terhadap pemikiran
dan bahasa. Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung
sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam
wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan
berbuat tidak adil terhadapnya. Menurut al-Attas ini, islamisasi ilmu
pengetahuan terkait erat dengan pembebasan manusia dari tujuan-tujuan hidup
yang bersifat dunyawi semata,
dan mendorong manusia untuk melakukan semua aktivitas yang tidak terlepas dari
tujuan ukhrawi.
Bagi al-Attas, pemisahan dunia dan akhirat dalam semua aktivitas manusia tidak
bisa diterima. Karena semua yang kita lakukan di dunia ini akan selalu terkait
dengan kehidupan kita di akhirat.[9]
Sementara secara praktis dan
metodologis, al-Faruqi menjelaskan islamisasi sebagai usaha untuk: memberikan definisi baru,
mengatur data-data, memikirkan lagi jalan pemikiran dan menghubungkan
data-data, mengevaluasikan kembali kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan
kembali tujuan-tujuan-dan melakukan semua itu sedimikian rupa sehingga
disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan islam dan bermanfaat bagi cause (cita-cita) Islam. [10]
Menurut M. Zainuddin dalam bukunya Filsafat Ilmu :
Persfektif Pemikiran Islam, Islamisasi pengetahuan pada dasarnya adalah
upaya pembebasan pengetahuan dari asumsi-asumsi Barat terhadap realitas dan
kemudian menggantikannya dengan worldviewnya sendiri (Islam)
[11]
Selain Islamisasi
Ilmu juga kita akan membahas tentang Ilmuisasi islam dan integrasi ilmu. Tidak
banyak kita temukan tentang difinisi ilmuisasi islam mungkin akan kita bahas
dilain waktu tentang definisinya. sementara Integrasi adalah sebuah
sistem yang mengalami pembauran hingga menjadi suatu kesatuan yang utuh. Misal Integrasi sosial dimaknai sebagai proses
penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan
masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki
keserasian fungsi. [12]
Di dalam bahasa inggris terdapat Tiga jenis kata dari integrasi.
Pertama sebagai kata kerja, yaitu to Integrate yang berarti mengintegrasikan, menyatupadukan,
menggabungkan, mempersatukan. Kedua, sebagai kata benda, yaitu Integration yang berarti integrasi, pengintegrasian, atau integrity
yang beartiketulusan hati, kejujuran dan keutuhan. Ketiga, sebagai kata sifat kata ini
merujuk pada kata integral yang bermakna hitungan integral, bulat, utuh. [13]
Sedangkan menurut kamus bahasa adalah pembauran hingga
menjadi satu kesatuan yang utuh atau bulat. [14]
Sedangkan kata Ilmu berasal dari bahasa arab yang berarti pengetahuan dan merupakan lawan kata Jahl yang berati ketidak tahuan atau kebodohan. kata ilmu biasanya disepadakan
dengan kata arab lainnya yaitu Ma’rifah ( pengetahuan ), Fiqh ( pemahaman ), Hikmah( kebijaksaan ) dan Syu’ur ( perasaan ).[15]
B. Islamisasi Ilmu
Secara
historis, ide atau gagasan Islamisasi Ilmu pengetahuan muncul pada saat
diselenggarakan Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam di Mekah pada
tahun 1977. Konferensi yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz University ini
berhasil membahas 150 makalah yang ditulis oleh sarjana-sarjana dari 40 negara,
dan merumuskan rekomendasi untuk pembenahan serta penyempurnaan sistem
pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia. Salah satu
gagasan yang direkomendasikan adalah menyangkut Islamisasi Ilmu pengetahuan.
Gagasan ini antara lain dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam
makalahnya yang berjudul “Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge
and the Definition and the Aims of Education dan Ismail R. al-Faruqi dalam
makalahnya “Islamicizing Social Science.” [16]
Secara
substansial proses Islamisasi Ilmu telah terjadi sejak masa Rasulullah Saw. Hal
ini dapat kita lihat dari proses pengislaman yang dilakukan oleh Nabi Muhammad
Saw. terhadap masyarakat Arab pada saat itu. Melalui ajaran-ajaran al-Qur’an,
sebagai sumber hukum Islam pertama, beliau merubah seluruh tatanan Arab
Jahiliyah kepada tatanan masyarakat Islam hanya dalam kurun waktu dua puluh
tiga tahun. Dengan al-Qur’an, Muhammad Saw. merubah pandangan hidup mereka tentang
manusia, alam semesta, dan kehidupan dunia. Pengislaman ilmu ini diteruskan
oleh para sahabat, tabiin dan ulama-ulama sehingga umat Islam mencapai
kegemilangan dalam ilmu. Dengan pengetahuan.[17]
Pada
sekitar abad ke-8 Masehi, pada masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah, proses
Islamisasi ilmu ini berlanjut secara besarbesaran, yaitu dengan dilakukannya
penerjemahan terhadap karyakarya dari Persia dan Yunani yang kemudian diberikan
pemaknaan ulang disesuaikan dengan konsep Agama Islam (Al-Attas, 2006: 24).
Disamping itu, para ilmuwan melakukan analisis kritis dan bahkan melakukan
rekonstruksi terhadap pemikiran para filosof Yunani (Kartanegara, 2011: 292).
Salah satu karya besar tentang usaha Islamisasi ilmu adalah hadirnya karya Imam
al-Ghazali, Tahafut al- Falasifah. Dalam buku tersebut Imam al
Ghazali telah menangkal para filsuf Yunani dalam bidang metafisika. Beliau
tidak menyerang dan membuang filsafat sebagai sistem berfikir, melainkan hanya
meluruskan tradisi kebanyakan filsuf yang menurut beliau dapat merancukan
aqidah umat Islam (Kartanegara, 2011: 292). Hal demikian, walaupun tidak
menggunakan pelabelan Islamisasi, tapi aktivitas yang sudah mereka lakukan
sejalan dengan makna Islamisasi. [18]
Selain
itu, pada tahun 30-an, Muhammad Iqbal menegaskan perlunya melakukan proses
Islamisasi terhadap ilmu pengetahuan. Dalam bukunya, The Reconstruction of
Religion Thought in Islam, beliau menyadari bahwa ilmu yang dikembangkankan
oleh Barat telah bersifat ateistik, sehingga bisa menggoyahkan aqidah umat,
sehingga beliau menyarankan umat Islam agar "mengkonversikan ilmu
pengetahuan modern", atau melakukan rekonstruksi pemikiran (Syaefuddin,
1987: 51). Akan tetapi, Iqbal tidak melakukan
tindak lanjut atas ide yang dilontarkannya tersebut. Tidak ada identifikasi
secara jelas problem epistimologis mendasar dari ilmu pengetahuan modern Barat
yang sekuler itu, dan juga tidak mengemukakan saransaran atau program
konseptual atau metodologis untuk mengkonversikan ilmu pengetahuan tersebut
menjadi ilmu pengetahuan yang sejalan dengan Islam. Sehingga, pada saat itu,
tidak ada penjelasan
yang sistematik secara konseptual mengenai Islamisasi ilmu pengetahuan.
Ide
Islamisasi ilmu pengetahuan ini dimunculkan kembali oleh Syed Hossein Nasr,
pemikir muslim Amerika kelahiran Iran. Beliau menyadari akan adanya bahaya
sekularisme dan modernisme yang mengancam dunia Islam. Karena itulah beliau
meletakkan asas untuk konsep sains Islam dalam aspek epistemologis, ontologi
maupun aksiologis melalui karyanya Science and Civilization in Islam, Islamic
Science, dan Islamic Art and Spirituallity. Melalui Science and
Civilization in Islam dan Islamic Science. Nasr memaparkan filsafat
islami tentang ilmu (Syaefuddin, 1987: 28). Melalui Islamic Art and
Spirituallity Nasr menjelaskan tentang hubungan seni dengan spiritualitas
(Nasr, 1993: 13).
Era
Globalisasi ini nyata mengguras semua Aturan Islam kalau tidak di tangani
dengan baik maka tidak tertutup kemungkinan generasi islam semakin terpuruk dalam bidang keilmuanya
padahal punca ilmu pengetahuan hampir semua ditemukan oleh ilmuan ilmuan Muslim
di masanya. Maka islamisasi Ilamu sangat dibutuhkan agar ilmu dan Islam
berjalan bersama seperti mata uang yang tidak bisa dipisahkan belahan
kepingannya begitulah layaknya antara Islam dan Ilmu, karena diakui tidak
diakui bahwa ilmu lahir dari rahimnya Islam. Namun seiring perkembangan Jaman
dan persentuhan berbagai pemikiran dan peradaban jadilah ilmu yang terkotak –
kotak dan pemisahan ilmu dari agama dan tergantung wilayah pemkembangannya
masing – masing.
Menurut al-Attas, ilmu pengetahuan tidak bersifat netral dan
bebas nilai. Sehingga ketika ilmu berkembang di sebuah wilayah, ilmu tersebut
dibentuk berdasarkan nilai-nilai budaya, ideologi, dan agama yang dianut oleh
para pemikir dan ilmuan di wilayah tersebut. Kemudian terjadilah apa yang
disebut sebagai Helenisasi Ilmu, Kristenisasi Ilmu, Islamisasi Ilmu pada masa
klasik Islam, kemudian Westernisasi ilmu dalam bentuk sekularisasi oleh
masyarakat Barat terhadap ilmu. Oleh karena itu proses “Islamisasi” oleh
Mulyadhi Kartanegara, adalah suatubentuk “naturalisasi” ilmu dalam rangka
meminimalisir dampak negatif sains sekuler terhadap kepercayaan agama. [19] Menurut
al-Attas, ada lima faktor yang menjiwai budaya dan peradaban Barat: (1) akal
yang diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia; (2) bersikap dualistik
terhadap realitas dan kebenaran; (3) menegaskan aspek eksistensi yang
memproyeksikan pandangan hidup sekuler; (4) membela doktrin humanisme; (5)
menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah
kemanusiaan. [20] Dari paparan al –
attas akan faktor yang menjiwai budaya dan peradaban barat memang sangat
dibutuhkan penangkal yaitu kembali kepada Islam dengan Islamisasi Ilmu.
Pada hakikatnya,
sumber ilmu hanya satu yaitu Allah SWT.
Sumber – sumber yang dimasukkan diatas hanyalah saluran saluran yang
harus dilalui untuk memperoleh untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Indra lahir
hanyalah penangkap pertama dari realitas, setelah itu diperoses oleh indra
batin. Selanjutnya, daya representasi menyimpan data yang telah diproses untuk
diterima dan dimaknai. Data yang sudah dimaknai disimpan dalam ingatan, kemudian
daya imajinasi memasukkan makna – makna yang tersimpan dalam ingatan ke dalam fakultas rasional
manusia yang mengelola data, sehingga makna – makna yang ada terkait dengan
rupanya. Setelah itu baru mendapatkan pemahaman tentang alam semesta. [21] Kini saatnya kita
generasi Islam harus benar – benar memikirkan untuk sebuah perubahan yang nyata
bangkit kembali membumikan semua disiplin ilmu dengan ke Islaman.
Metodelogi yang
ditawarkan Al- Faruqi untuk melakukan islamisasi Ilmu pengetahuan modern adalah
kembali keprinsip - prinsip pokok metodologi Islam, yaitu ; (1)Tauhid atau
aqidah (2)kesatuan alam semesta, yang meliputi pemahaman tentang (a) tata
kosmis, (b) tujuan ukhrawi penciptaan,(c) ketundukan alam semesta kepada
manusia; (3) kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan; (4) kesatuan hidup,
yang mencakup hidup sebagai (a) amanah Tuhan, (b) khalifah dan (c) kelengkapan;
serta (5) Kesatuan umat manusia. [22] Selain prinsip – prinsip tersebut Al faruqi
juga menawarkan 5 rencana kerja dan 12
langkah – langkah dalam Islamisasi Ilmu.
Kelima rencana kerja dimaksud adalah sebagai berikut : (1) Menguasai
disiplin Ilmu Modern, (2) menguasai Khazanah Islam, (3) menentukan relevansi
Islam bagi setiap bidang ilmu modern, (4) mencari sintesa kreatif antara khazanah
Islam dan ilmu modern, dan (5) mengarahkan aliran pemikiran Islam ke jalan yang
mencapai pemenuhan pola rencana Allah SWT. [23]
1.
Penguasaan Ilmu pengetahuan Modern secara kategori.
2.
Survey disiplin Ilmu.
3.
Penguasaan Khazanah Islam.
4.
Penguasaan Khazanah Ilmiah Islam terhadap analisa.
5.
Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin ilmu.
6.
Penilaian Kritis terhadap disiplin Ilmu Modern dan tingkat perkembangannya
di masa kini.
7.
Penilaian Kritis terhadap Khazanah Islam dan tingkat perkembangannya dimasa
kini.
8.
Survey terhadap permasalahan yang dialami umat Islam.
9.
Survey terhadap permasalahan yang dihadapi umat manusia.
10.
Analisa Kreatif dan sintesa
11.
Penuangan kembali disiplin Ilmu
mudern ke dalam kerangka Islam melalui buku – buku daras tingkat universitas.
12.
Penyebaran Ilmu yang telah di Islamisasi
C.
Ilmuisasi Islam
Ilmuisasi islam
juga sebuah pemikiran dari beberapa tokoh yaitu setelah adanya gerakan
islamisasi ilmu boleh dikatakan sebagai auto kritik terhadap pemikiran
islamisasi Ilmu. Namun menurut kami tidak jauh beda hanya cara pandang dan pola pikir saja yang berbeda pada intinya
semua tokoh – tokoh ini khawatir dan gelisah akan keterpuruhan islam dalam
mengkaji ilmu – ilmu atau dalam hal melahirkan iilmu – ilmu baru.
Di antara para ilmuan muslim yang menempuh
upaya Ilmuisasi Islam adalah Mahdi Ghulsyani, Ziau’ al-Din Sadr dan Kuntowijoyo.
Disini hanya di kemukakan konsep ilmuisasi islam Mahdi Ghulsyani dan
Kuntowijoyo, serta sedikit kritik Ziau’ al-Din Sadr terhadap upaya islamisasi
ilmu yang dilakukan antara lain oleh al – Faruqi dan ilmuan Muslim sejalur dengannya.
Mereka melakukan langkah dan metode yang berbeda dengan al-Faruqi dalam
membangun sains Islam. [25] Para penolak Islamisasi ilmu ketika kita
teliti lebih jauh adalah para tokoh yang tidak sepakat Islamisasi Ilmu selalu di kaitkan
dengan kata
kembali ke al-Qur’an dan hadits dan meletakkannya sengai suber pengetahuan.
Pada umumnya para pengkritik Islamisasi Ilmu berpendapat
bahwa sains adalah mengkaji fakta-fakta objektif dan independen dari manusia di
mana budaya dan agama harus dipisahkan dari nilai-nilai. Abdus Salam, misalnya
mengatakan hanya ada satu sains universal, problem-problemnya dan
bentuk-bentuknya adalah internasional dan tidak ada sesuatu seperti sains
Islam, sebagaimana tidak ada sains Hindu, sains Yahudi, atau sains Kristen. [26] Selain Abdus Salam, Pervez Hoodbhoy,
juga menyatakan bahwa tidak ada sains Islam tentang dunia fisik, dan usaha
untuk menciptakan sains Islam merupakan pekerjaan sia-sia, sebagaimana telah
diungkap Sir Syed Ahmed Khan, bahwa tujuan agama lebih pada usaha meningkatkan
moralitas ketimbang menjelaskan fakta-fakta sains. [27] Tentunya masih banyak lagi kritikan kritikan atas
ketidak setujuan tentang metode
islamisasi ilmu yaitu dengan berbagai argumenya masing – masing. Lebih ringkas,
dalam mengkritik konsep Islamisasi Ilmu pengetahuan ini, Soroush menyatakan;
(1) metode metafisis, empiris atau logis adalah independen dari Islam atau
agama apa pun. Metode tidak bisa diislamkan; (2) Jawaban-jawaban yang benar
tidak bisa diislamkan. Kebenaran adalah kebenaran itu sendiri dan tidak bisa
diislamkan; (3) Pertanyaan dan masalah yang diajukan dalam sains adalah untuk
mencari kebenaran, meskipun diajukan oleh nonmuslim; (4) Metode yang digunakan
dalam sains juga tidak bisa diislamkan. [28]
Dari berbagai metode dan pemikiran tentang
Ilmuisasi Islam para pengkritik rata – rata gagal menempatkan landasan yang
kokoh untuk mengatikan Islamisasi Ilmu dan pada akhirnya hanya Kuntowijoyo yang melahirkan buku yang berjudul; Islam Sebagai Ilmu:
Epistemologi, Metodologi, dan Etika tentunya
buku kunto ini banyak dijadikan rujukan dari berbagai kalangan terlebih mereka
yang menolak pemkiran Islamisasi Ilmu. Di
pengantar bukunya, secara tegas Kuntowijoyo mengatakan, “… gerakan
intelektual Islam harus melangkah ke arah Pengilmuan Islam. Kita harus
meninggalkan Islamisasi Pengetahuan….”.[29] Dari pernyataan diatas jelas
terlihat ada konflik yang tidak berkesesuaian pemikiran terhadap Islamisasi
Ilmu.
Kuntowijoyo menyanggah gagasan Islamisasi
Ilmu pengetahuan lantaran mengingkari objektivasi ilmu. Menurutnya, ilmu
pengetahuan yang benar-benar objektif tidak perlu diislamkan sebab Islam
mengakui objektivitas. Suatu teknologi, akan tetap sama saja di tangan orang
Islam ataupun non Islam. Asumsi inilah yang mendasari Kuntowijoyo untuk lebih
memilih konsep Pengilmuan Islam daripada Islamisasi Ilmu.
Islam mengakui objektivitas, maka ilmu
yang benar-benar objektif tidak perlu diislamkan, suatu teknologi akan sama
ditangan orang Islam atau orang kafir. Metode dimanapun sama, apakah itu metode
survey, metode partisipan, atau metode grounded dapat dipakai dengan
aman tanpa resiko bertentangan dengan keimanan. Maka tidak perlu ada
kekhawatiran pada ilmu-ilmu yang benar-benar objektif dan sejati. Untuk ilmu
yang benar-benar objektif kiranya sangat bergantung pada niat individu, maka
niat individu itu yang memerlukan Islamisasi bukan ilmunya.
Secara
harfiah, frasa “Pengilmuan Islam” berarti menjadikan Islam sebagai ilmu. Dengan
“Pengilmuan Islam”, yang ingin ditujunya adalah aspek universalitas klaim Islam
sebagai rahmat bagi alam semesta—bukan hanya bagi pribadi-pribadi atau
masyarakat Muslim, tapi semua orang; bahkan setiap makhluk di alam semesta ini.
“Rahmat bagi alam semesta” adalah tujuan akhir pengilmuan Islam. Rahmat itu
dijanjikan bukan hanya untuk Muslim tapi untuk semuanya. Tugas Muslim adalah
mewujudkannya; pengilmuan Islam.
Pengilmuan Islam dicoba dipahami dengan membandingkannya
dengan Islam sebagai mitos dan ideologi. Untuk lebih jauh memahami ini dalam
konteks yang lebih luas, kita bisa melihat alternatif lain bagi gerakan
Pengilmuan Islam. Dalam konteks yang berbeda, Kuntowijoyo membandingkan
pengilmuan Islam dengan kodifikasi Islam dan Islamisasi Ilmu. [30]
Selain Kontowijoyo
konsep Ilmu juga di lontarkan oleh Mahdi Ghulsyani, dimana Ghulsyani mengkritik
beberapa ulama termasuk pendapat Al Ghazali tentang klasifikasi ilmu yaitu :
unsur, furu’,mukadimah dan taklimat. Ghulsyani mengemukan kritiknya dengan beberapa argumen, yaitu : pertama,
Klasifikasi seperti itu dapat menyebabkan kesalahan memandang banwa “
ilmu non-agama” terpisah dari Islam, kedua,
alasan lain mempercayai bahwa ilmu terpuji bukan hanya ilmu tauhid atau
hukum – hukum syariah yang berhubungan
dengan nilai haram halal saja, melainkan mencakup segenap warisan tak
ternilai yang diwariskan oleh para ulama terdahulu satu abad setelah hijriah. Ketiga, memilah – milah kelompok ilmu
dengan alasan ilmu tidak dimiliki kesamaan nilai dengan studi keagamaan
tidaklah benar.
[31]
Ghulsyani mengusulkan langkah – langkah operasional yang
prakstis dalam ilmuisasi islam dan harus di lakukan oleh umat Islam, antara
lain;
[32]
1.
Seperti para ulama atau kaum
ilmuan abad kecemerlangan Islam,kita harus mempelajari seluruh ilmu pengetahuan
yang berguna dari orang lain.
2.
Membangun kembali integrasi
antara ilmu – ilmu agama dan ilmu – ilmu kealaman.
3.
Untuk mencapai kemerdekaan
penuh umat islam dari cengkraman barat, negara – negara islam perlu mengambil
langkah – langkah untuk melatih para spesialis di berbagai bidang keilmuan dan industri
yang penting.
4.
Penelitian Ilmiah harus
dipikirkan sebagai sebuah pencarian penting dan mendasar, bukan kegiatan sambil
lalu atau sekunder.
5.
Harus ada kerjasama antar
negara Muslim di bidang penelitian dan teknologi
6.
Di sekolah - sekolah dan
penguruan tinggi negara - negara muslim harus memberi perhatian utama kepada
problem pembangunan moral para pelajar dan mahasiswa.
Jika mahdi melakukan Ilmuisasi islam melalui perspektif
ilmu alam yang dialaminya, maka Kuntowijoyo mengintrodusir konsep ilmuisasi Islam
lewat ilmu sosial budaya yang menjadi konsentrasinya selama ini. Keseluruhan
gagasan Kunto dapat diidentifikasi berkisar pada aspek epistimologi,
metodologi, dan etika. [33]
D. Integrasi Ilmu
Ditengah pro kotra Islamisasi ilmu dan
ilmuisasi Islam muncul paradigma baru yaitu konsep integrasi. Dr. Danial.Ma
dalam bukunya Filsafat Ilmu (Fajar
Pustaka baru : 2017) menyampaikan bahwa dalam hal, mengatasi dan menyempurnakan
berbagai kelemahan dan kekurangan dua model diatas, maka muncullah tawaran
integrasi antara ilmu dan agama. Tawaran
model integrasi oleh kaum ilmuan muslim inipun sangat bervariasi. Namun, salah
satu model yang akan diketengahkan disini adalah apa yang digagas oleh Muhammad
Amin Abdullah dengan julukan Jaring laba – laba. Menurut Amin model ini sangat
dibutuhkan untuk menghadapi berbagai perubahan global yang disodorkan kehadapan
umat islam. Diantaranya adalah globalisasi, migrasi, revolusi ilmu pegetahuan
dan teknologi, eksplorasi ruang angkasa, pesatnya perkembangan dunia pendidikan,
bertambahnya kesadaran tentang harkat dan martabat manusia, semakin dekatnya
hubungan antar agama, munculnya konsep negara bangsa, dan isu gender. [34]
Dari paparan ini tentunya sangat koplik dan pelik kondisi yang akan di hadapi
oleh umat islam khususnya dalam hal ilmu pengetahuan, belum lagi ada pro dan
kontra dengan konsep – konsep yang ada. Maka memang perlu adanya orang – orang
yang serius dalam menghadapi era ini, orang – orang yang serius memajukan
pendidikan Islam dari berbagai disiplin Ilmu. Dan dalam hal ini kampus
pendidikan Islam baik Negeri ataupun swasta harus bergandeng tangan dalam hal
melahirkan, ilmuan – ilmuan yang memihak kepada Islam dan tidak memisahkan
antara agama dan pengetahuan. Menurut Azyumardi Azra, sebagai Rektor UIN
Jakarta pertama, sekaligus tim penggagas terbentuknya UIN Jakarta, menyatakan:
Islam sebagai agama
universal dan berlaku sepanjang zaman bukan hanya mengatur urusan akhirat,
tetapi juga urusan dunia. Demikian pula Islam mengatur ilmu-ilmu yang berkaitan
dengan hubungan terhadap Tuhan, dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan
keduniaan. Islam mengatur keduanya secara integrated, yaitu bahwa apa yang disebut sebagai ilmu agama
sebenarnya di dalamnya juga mengatur ajaran tentang bagaimana sesungguhnya
hidup yang baik dan beradab di dunia ini. Juga apa yang sebenarnya disebut ilmu
umum, sebenarnya amat juga dibutuhkan dalam rangka berhubungan dengan Tuhan. [35]
Tidak dipungkiri lagi secara
aksiologis penyatuan ilmu dan agama adalah
sebuah keniscayaan untuk tercapainya
kesejahteraan umat manusia, hanya saja diperlukan
harus sangat banyak pengembangan pada tingkat epistemologis, walaupun dalam metodologisnya masih
banyak kekurangan disana sini, namun integrasi harus
tetap berjalan sambil memperbaiki semua tatanan keilmuan khususnya dalam hal
metodologis. Tim UIN Jakarta (2006) merumuskan epistemologi
keilmuan dengan hubungan empat unsur, yaitu keislaman, keilmuan, keindonesiaan,
dan kemanusiaan. Bagi UIN Jakarta, antara Ilmu Pengetahuan Umum dan Ilmu
Pengetahuan Agama dapat berinteraksi secara dialogis, membuka diri untuk saling
memanfaatkan atau saling melebur. Misal, ilmu fikih dapat memberi bantuan pada
aspek aksiologis sampai batas mana kewenangan penelitian biologi dapat
dilakukan, atau memberi asumsi awal sesuatu yang didasarkan pada sumber agama
Islam (al-Qur‟an dan Hadis). Pada saat yang sama, biologi dapat membantu ilmu
fikih dari sisi penyediaan data empirik yang dibutuhkan untuk menentukan hukum
suatu barang atau perbuatan.
[36] Hanya saja, epistemologi
integrasi keilmuan masih belum dikemukakan sistematika teoritisnya secara
detail dan aplikatifnya dalam perspektif tafsir al-Qur‟an. Hal tersebut sejalan
dengan statemen Azyumardi Azra yang menyatakan bahwa tantangan terkini umat
Islam, terkait dengan program integrasi agama dan ilmu pengetahuan ada dua hal.
Pertama, ilmu-ilmu yang terpisah dari nilai-nilai spiritual dan etis. Kedua,
marginalitas ilmu-ilmu berhadapan dengan apa yang disebut ilmu-ilmu agama.
Tantangannya di sini adalah membawa ilmu-ilmu ke dalam mainstream perspektif
Islam, ilmu secara utuh. Rekonsiliasi dan reintegrasi antara dua kelompok
keilmuan, yaitu ilmu-ilmu yang berasal dari al-âyât al-qur’ânîyah dan
yang berasal dari al-âyah al-kawnîyah, berarti kembali pada kesatuan
transenden semua ilmu pengetahuan.
[37] Tentang Paradigma
integrasi juga dinyatakan
oleh Ismail Raji al-Faruqi dengan mengemukakan istilah “islamisasi ilmu
pengetahuan” melalui lima tahapan. Pertama, penguasaan disiplin ilmu
modern. Kedua, penguasaan khazanah Islam. Ketiga, penentuan
relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern. Keempat, pencarian
sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu modern. Kelima, mengarahkan
aliran pemikiran Islam ke jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah. Ismail Raji al-Faruqi
mengemukakan juga pentingnya relevansi ilmu-ilmu Islam dengan ilmu modern dan
sintesa kreatif keduanya, tetapi ia tidak mengemukakan tentang bagaimana proses
relevansi ilmu-ilmu modern dengan teks al-Qur‟an termasuk tidak diungkapkan
tentang proses penilaian kritis dan sintesa kreatifnya dalam penafsiran teks
al-Qur‟an. [38]
Namun Muhammad Amin Abdullah mencoba menmengilustrasikan
model integrasi interkoneksi antara Ilmu dan agama atau antara sains modern dan
Khazanal intelektual Islam. [39] Model integrasi yang diusulkan amin seperti yang di kutip
Danail dalam bukunya filsafat Ilmu adalah model triadik – dialektis antara
hadharah al nas (ilmu keislaman), hadarah al- ‘ilm (sains modern), dan hadharah
al – falsafah (filsafat). Model ini disebut oleh amin di sebut tengan
interconnected entities. [40]
Menanggapi tiga gagasan dan pemikiran diatas yaitu islamisasi ilmu, ilmuisasi Islam dan
integrasi Ilmu, Dr. Danial.Ma menulis
dalam Filsafat Ilmunya bahwa setiap model yang digagas memiliki kelebihan dan
kelemahan,sehingga semuanya dapat saling melengkapi. Jika pemikiran mereka di
rajut satu sama lain, maka terbentuklah sebuah kontruksi filosofis pembangunan
ummat islam dan ilmu pengetahuan serta teknologi, sekaligus langkah praktis
untuk mewujudkannya. Rekonstruksi aspek antologis dan aksiologis sainsmodern
yang di introdusir antara lain oleh Mahdi Ghulsyani dan Sayyed Nuquib al –
Attas, dan Kontowijoyo dirajut dengan rekonstruksi epistemologis Muhammad Amin
Abdullah, serta langkah – langkah praktis yang digagas Al- Faruqi, maka akan
melahirkan sebuah bangunan ilmu pengetahuan yang mampu mengoreksi kelemahan
yang dimiliki sains modern sekaliagus menjamin kemaslahatan manusia dunia dan
sekaligus akhirat. . [41]
III.
PENUTUP
Pertama;Dari pembahasan tiga gagasan pemikiran diatas, islamisasi
ilmu, ilmuisasi islam dan Integrasi ilmu tentunya kita dapat melihat warna –
warna pemikiran yang berbeda tentang Ilmu pengetahuan namun dibalik perbedaan
cara pandang dan pemahaman tersebut kita wajib berbangga hati bahwa masih ada
ilmuan ilmuan muslim yang masih sangat konsen memikirkan akan kemanjuan islam
khususnya dalam hal pengembangan Ilmu pengetahuan berdasarkan keislaman.
Kedua; pemikiran diatas berbicara bagaimana menyatukan antara
ilmu dan agama atau lebih jelasnya adalah bagaimana hubungan ilmu dan agama.
Khususnya Islamisasi ilmu dan Ilmuisasi Islam kedua konsep pemikiran ini
terlihat seakan ada bentrokan yang berkelanjutan hingga datang pemikiran yang
ketiga yaitu integrasi Ilmu. Kalau diperhatikan secara seksama ketiga pemikiran
ini menitikan pada satu titik yang sama yaitu sama – sama menempatkan Al quran
dan Hadits dalam Ilmu pengetahuan.
Ketiga: harus adanya perekat untuk menyatukan ketiga konsep
diatas demi mencapai kemajuan ilmu pengetahuan islam.
Daftar Pustaka
Al – Quranul Qarim
Azyumardi Azra, “Reintegrasi Ilmu-ilmu
dalam Islam”, dalam Bagir
(ed.), Integrasi Ilmu dan Agama
Andi Rosadisastra, Integrasi
Ilmu Sosial dengan Teks Agama dalam perspektif tafsir Al quran,
Jurnal Mutawatir |Vol.4|No.1| Januari-Juni 2014
Artikel Islamisasi Ilmu
Pengetahauan, Disampaikan pada acara Seminar Islam Akbar (SIAR) 1435 H, BEM
FMIPA Universitas Hasanuddin, Indonesia oleh
Muhammad Agung Bramantya, ST., MT., M.Eng., Ph.D.
Azyumardi
Azra, “Kata Pengantar” dalam Abdurrahman Kasdi, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum: Mencari Format Islamisasi Ilmu
Pengetahuan (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003)
Danail, Filsafat Ilmu
Cet-3, Yogyakarta, Fajar Pustaka baru 2017
Ensiklopedi
Islam, editor bahasa, Ninam Armando, 2005. Ichtiar baru van hoeve,
H. Ahmad Syadali, dan
Mudzakir, Filsafat Umum,
Bandung Pustaka setia, 1997
Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, pengarang buku
dari Mesir salah satu bukunya, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia
Peter salim &
yenny .Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,Jakarta 1986
Web
http://www.fauzulmustaqim.com/2016/10/makalah-islamisasi-ilmu-pengetahuan.html
Miftahul. jurnal Historisitas Islamisasi Ilmu Pengetahuan Isma’il Raji al-Faruqi. Islamisasi Pengetahuan. Bandung
2003, Pustaka. Cet ke-3
M. Zainuddin, Filsafat Ilmu:
Persfektif Pemikian Islam. 2003 Malang: Bayu Media
https://id.wikipedia.org/wiki/Integrasi_sosial
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta
1996: Gramedia
kamus besar bahasa Indonesia pusat bahasa, edisi keempat, Departemen Pendidikan Nasional Jakarta2008 :Gramedia
Muhaimin, Arah
Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan kurikulum,
hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan Bandung: Nuansa, 2003
Ulumuna Jurnal
Studi Keislaman, Volume 17 Nomor 1 (Juni) 2013
Salafuddin Jurnal FORUM TARBIYAH Vol. 11, No. 2, Desember 2013
Mulyadhi
Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan:
Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, Juni 2003)
Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena
to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the
Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995)
Rosnani Hashim, “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Kontemporer”. dalam Majalah Islamia,
Tahun 01. No. 6/Juli-September 2005
Pervez Hoodbhoy,Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas,Sari Meutia (Bandung: Mizan,
1996)
Ismail Thoib dan Mukhli, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 17
Nomor 1 (Juni) 2013
Kuntowijoyo, Islam
Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika,Bandung: Teraju,
2004
Tim
Perumus,
Integrasi Keilmuan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta menuju Universitas Riset (UIN Jakarta: Jakarta
Press, 2006)
[1] Prof.
Dr. Raghib As-Sirjani, pengarang buku dari Mesir salah satu bukunya, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia.
[3] Artikel Islamisasi Ilmu Pengetahauan,
Disampaikan pada acara Seminar Islam Akbar (SIAR) 1435 H, BEM FMIPA Universitas
Hasanuddin, Indonesia oleh Muhammad Agung Bramantya, ST., MT., M.Eng.,
Ph.D. .
[5] Peter
salim & yenny .Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,Jakarta 1986 h 971
pengetahuan.html
[11] M.
Zainuddin, Filsafat Ilmu: Persfektif
Pemikian Islam. 2003 Malang: Bayu Media, h 160
h. 326
Departemen Pendidikan Nasional Jakarta2008
:Gramedia h. 270
[16]
Muhaimin,
Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan
kurikulum, hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan Bandung: Nuansa, 2003
[19] Mulyadhi
Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam (Bandung:
Mizan, Juni 2003)
[20] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena
to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the
Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 88- 108
[26] Rosnani Hashim, “Gagasan Islamisasi
Ilmu Pengetahuan Kontemporer”. dalam Majalah Islamia, Tahun 01. No.
6/Juli-September 2005, 35.
[35] Azyumardi Azra, “Kata Pengantar” dalam
Abdurrahman Kasdi, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum: Mencari Format
Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), h viii.
[36] Tim Perumus,
Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menuju Universitas Riset (UIN
Jakarta: Jakarta Press, 2006), h xv-xvi.
[37]Azyumardi
Azra, “Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam”, dalam Bagir (ed.), Integrasi
Ilmu dan Agama, h 210
[38] Andi Rosadisastra, Integrasi Ilmu Sosial dengan Teks Agama
dalam perspektif tafsir Al quran, Jurnal Mutawatir |Vol.4|No.1|
Januari-Juni 2014 h 92
[39] Danail, filsafat ilmu h 186
[40] Danail, filsafat ilmu h 186
Tidak ada komentar:
Posting Komentar