Trending Template

Makalah: Filsafat Ilmu

Selasa, Januari 30, 2018


Ilustrasi (blogspot)
ISLAMISASI ILMU, ILMUISASI ISLAM DAN INTEGRASI ILMU
oleh : Zulkarnen,S.Pd
Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Lhokseumawe
                              
I.     PENDAHULUAN

            Kata ilmu dengan asal 3 huruf (ain, lam, mim) disebutkan 779 kali dalam Kitabullah. Selain itu, terdapat lebih banyak lagi kalimat yang mengarah pada makna ilmu, tapi tidak disebutkan menurut lafadznya. Seperti: yaqin, huda, akal, al-fikru, nazhar, hikmah, fiqih, burhan, dalil, hujjah, ayat, bayyinah, dan lain-lain. Sementara dalam sunnah nabawiyah, menghitung kalimat ilmu hampir merupakan hal yang mustahil, karena saking banyaknya.  (Prof. Dr. Raghib As-Sirjani).[1]

Ilmu adalah bekal setiap manusia untuk menjalani kehidupan dan islam sendiri sangat mengedepankan ilmu pada ummatnya bahkan bisa dikatakan inti dalam islam adalah ilmu seperti yang disampaikan Prof. Raghib diatas. Dalam Al quran sendiri sebagai kitab suci Ummat Islam Allah menwahyukan lima ayat yang pertama kepada Rasul SAW  adalah anjuran untuk berilmu yaitu di surat Al Alaq ayat 1 -5
Artinya:
 Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al alaq : 1-5) .[2]


Dari ayat diatas tercermin bahwa islam adalah agama yang mengedepankan ilmu dan menempatkan ilmu di urutan pertama dalam berbagai hal. Rasulullah SAW sendiri dalam mengembangkan Islam di Awal – awal periode mekkah menyampaikan ilmu kepada sahabat secara rahasia di rumah Arqam bin Abil Arqam seperti tersebut dalam buku sirah nabawiyah bahwa disanalah Rasulullah memulai mentarbiyah para sahabatnya.
Awal kemunculan dan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia lslam tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan Islam itu sendiri. Dalam tempo lebih kurang 25 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam (632M), kaum Muslim telah berhasil menaklukkan seluruh jazirah Arabia dari selatan hingga utara. Ekspansi dakwah yang dalam sejarah Islam disebut sebagai “pembukaan negeri-negeri” (futuh al-buldan) ini berlangsung pesat dan tak terbendung. Bagai diterpa gelombang tsunami, satu persatu, kerajaan demi kerajaan dan kota demi kota berhasil ditaklukkan dan dianeksasi. Sehingga tidak sampai satu abad, pada 750 M, wilayah lslam telah meliputi hampir seluruh luas jajahan Alexander the Great di Asia (Kaukakus) dan Afrika Utara (Libya, Tunisia, Aljazair, dan Maroko), mencakup Mesopotamia (Irak), Syria, Palestina, Persia (Iran), Mesir, plus semenanjung lberia (Spanyol dan Portugis), dan lndia.[3]
            Pelebaran sayap dakwah lslam itu tentu saja bukan tanpa konsekuensi. Seiring dengan terjadinya konversi massal dari agama asal atau kepercayaan lokal ke dalam lslam, terjadi pula penyerapan terhadap tradisi budaya dan peradaban setempat. Proses interaksi yang berlangsung alami namun pesat ini tidak lain dan tidak bukan adalah gerakan ″islamisasi” (atau apapun namanya, seperti ″naturalisasi″, ″integralisasi″, ″asimilasi″ dan lain sebagainya), dimana unsur-unsur dan nilai-nilai masyarakat lokal ditampung, ditampih, dan disaring dulu sebelum kemudian diserap. Hal-hal yang positif dan sejalan dengan lslam dipertahankan, dilestarikan dan dikembangkan. Sementara elemen-elemen yang tidak sesuai dengan kerangka dasar ajaran lslam ditolak dan dibuang. Proses ini digambarkan dengan sangat baik oleh sejarawan sains Muslim terkemuka, Seyγed Hossein Nasr, sebagai berikut “Dalam kedua kasus tersebut (yakni kemunculan sains di dunia lslam dan Eropa Barat) memang ada masa pemindahan, namun ada juga masa pengunyahan, pencernaan, dan penyerapan yang juga berarti penolakan. Tidak pernah ada sains yang diserap ke dalam sebuah peradaban tanpa penolakan sedikitpun. Mirip dengan tubuh kita. Kalau kita cuma makan saja, tetapi badan kita tidak mengeluarkan sesuatu, maka dalam beberapa hari saja, kita akan mati. Sebagian makanan perlu diserap, sebagian lagi harus dibuang′′ [4]
            Berarti sejak zamannya Rasullah SAW, hingga zaman Kulafaurrasyidin, Dinasty Umayyah, Abbasiyah, era kemunduran hingga saat ini Islamisasi Ilmu dan ilmuisasi Islam terus dilakukan walaupun masih tersendat sendat seiring perkembangan zaman  dan tuntutan tuntutan masa di era globalisasi ini.

II.      ISLAMISASI ILMU, ILMUISASI ISLAM DAN INTEGRASI ILMU

A.    Pengertian           
Berikut berbagai pengertian, istilah dan pemahaman tentang ilmu,  islamisasi ilmu, ilmuisasi Islam dan integrasi Ilmu baik secara teoritis  dan idiologis maupun secara praktis dan metodologis tentunya menurut tokoh tokoh dibidangnya.
Islamisasi ilmu pengetahuan bisa dipahami sebagai internalisasi konsep-konsep Islam terhadap ilmu pengetahuan. Artinya, setiap ilmu pengetahuan yang berkembang harus mempunyai nilai-nilai islamnya. Dalam konsep ini, islam menjadi nilai (satu-satunya) bagi ilmu pengetahuan.  
Menurut kamus komtemporer Islamisasi; artinya adalah pengIslaman, pengIslaman dunia, bisa juga usaha meng Islamkan dunia.[5]                                         Sedangkan dalam sebuah buku filsafat disebutkan bahwa, Ilmu adalah merupakan cara berfikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan. Ilmu merupakan produk dari  proses berfikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum  dapat disebut sebagai berpikir ilmiah[6]
Dalam bahasa arab, istilah islamisasi ilmu dikenal dengan “Islamiyyat al-ma’rifat” dan dalam bahasa inggris disebut dengan “Islamization of  Knowledge”. Islamisasi ilmu merupakan istilah yang mendiskripsikan berbagai usaha dan pendekatan untuk mensitesakan antar etika islam dengan berbagai bidang pemikiran modern. Produk akhirnya akan menjadi ijma’ (kesepakatan) baru bagi umat islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dan metode ilmiah tidak bertentangan dengan norma-norma islam.[7]

Menurut Mulyadhi Kartanegara, Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan naturalisasi sains (ilmu pengetahauan) untuk meminimalisasikan dampak negatif sains sekuler terhadap sistem kepercayaan agama dan dengan begitu agama menjadi terlindungi.[8]
Secara teoritis dan ideologis, Syed M. Naquib al-Attas mendefenisikan islamisasi ilmu pengetahuan sebagai: pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belengu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa. Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya. Menurut al-Attas ini, islamisasi ilmu pengetahuan terkait erat dengan pembebasan manusia dari tujuan-tujuan hidup yang bersifat dunyawi semata, dan mendorong manusia untuk melakukan semua aktivitas yang tidak terlepas dari tujuan ukhrawi. Bagi al-Attas, pemisahan dunia dan akhirat dalam semua aktivitas manusia tidak bisa diterima. Karena semua yang kita lakukan di dunia ini akan selalu terkait dengan kehidupan kita di akhirat.[9]
Sementara secara praktis dan metodologis, al-Faruqi menjelaskan islamisasi sebagai usaha untuk: memberikan definisi baru, mengatur data-data, memikirkan lagi jalan pemikiran dan menghubungkan data-data, mengevaluasikan kembali kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan-dan melakukan semua itu sedimikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan islam dan bermanfaat bagi cause (cita-cita) Islam. [10]
Menurut M. Zainuddin  dalam bukunya Filsafat Ilmu : Persfektif Pemikiran Islam, Islamisasi pengetahuan pada dasarnya adalah upaya pembebasan pengetahuan dari asumsi-asumsi Barat terhadap realitas dan kemudian menggantikannya dengan worldviewnya sendiri (Islam) [11]
            Selain Islamisasi Ilmu juga kita akan membahas tentang Ilmuisasi islam dan integrasi ilmu. Tidak banyak kita temukan tentang difinisi ilmuisasi islam mungkin akan kita bahas dilain waktu tentang definisinya. sementara Integrasi adalah sebuah sistem yang mengalami pembauran hingga menjadi suatu kesatuan yang utuh. Misal Integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi. [12]
Di dalam bahasa inggris terdapat Tiga jenis kata dari integrasi.
 Pertama sebagai kata kerja, yaitu to Integrate yang berarti mengintegrasikan, menyatupadukan, menggabungkan, mempersatukan. Kedua, sebagai kata benda, yaitu Integration yang berarti integrasi, pengintegrasian, atau integrity yang beartiketulusan hati, kejujuran dan keutuhan.  Ketiga, sebagai kata sifat kata ini merujuk pada kata integral yang bermakna hitungan integral, bulat, utuh. [13]
Sedangkan menurut kamus bahasa adalah pembauran hingga menjadi satu kesatuan yang utuh atau bulat. [14]
Sedangkan kata Ilmu berasal dari bahasa arab yang berarti pengetahuan dan merupakan lawan kata Jahl yang berati ketidak tahuan atau kebodohan. kata ilmu biasanya disepadakan dengan kata arab lainnya yaitu Ma’rifah          ( pengetahuan ),  Fiqh ( pemahaman ), Hikmah( kebijaksaan ) dan Syu’ur             ( perasaan ).[15]

B.       Islamisasi Ilmu

Secara historis, ide atau gagasan Islamisasi Ilmu pengetahuan muncul pada saat diselenggarakan Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam di Mekah pada tahun 1977. Konferensi yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz University ini berhasil membahas 150 makalah yang ditulis oleh sarjana-sarjana dari 40 negara, dan merumuskan rekomendasi untuk pembenahan serta penyempurnaan sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia. Salah satu gagasan yang direkomendasikan adalah menyangkut Islamisasi Ilmu pengetahuan. Gagasan ini antara lain dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam makalahnya yang berjudul “Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and the Aims of Education dan Ismail R. al-Faruqi dalam makalahnya “Islamicizing Social Science.” [16]
Secara substansial proses Islamisasi Ilmu telah terjadi sejak masa Rasulullah Saw. Hal ini dapat kita lihat dari proses pengislaman yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. terhadap masyarakat Arab pada saat itu. Melalui ajaran-ajaran al-Qur’an, sebagai sumber hukum Islam pertama, beliau merubah seluruh tatanan Arab Jahiliyah kepada tatanan masyarakat Islam hanya dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun. Dengan al-Qur’an, Muhammad Saw. merubah pandangan hidup mereka tentang manusia, alam semesta, dan kehidupan dunia. Pengislaman ilmu ini diteruskan oleh para sahabat, tabiin dan ulama-ulama sehingga umat Islam mencapai kegemilangan dalam ilmu. Dengan pengetahuan.[17]
Pada sekitar abad ke-8 Masehi, pada masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah, proses Islamisasi ilmu ini berlanjut secara besarbesaran, yaitu dengan dilakukannya penerjemahan terhadap karyakarya dari Persia dan Yunani yang kemudian diberikan pemaknaan ulang disesuaikan dengan konsep Agama Islam (Al-Attas, 2006: 24). Disamping itu, para ilmuwan melakukan analisis kritis dan bahkan melakukan rekonstruksi terhadap pemikiran para filosof Yunani (Kartanegara, 2011: 292). Salah satu karya besar tentang usaha Islamisasi ilmu adalah hadirnya karya Imam al-Ghazali, Tahafut al- Falasifah. Dalam buku tersebut Imam al Ghazali telah menangkal para filsuf Yunani dalam bidang metafisika. Beliau tidak menyerang dan membuang filsafat sebagai sistem berfikir, melainkan hanya meluruskan tradisi kebanyakan filsuf yang menurut beliau dapat merancukan aqidah umat Islam (Kartanegara, 2011: 292). Hal demikian, walaupun tidak menggunakan pelabelan Islamisasi, tapi aktivitas yang sudah mereka lakukan sejalan dengan makna Islamisasi. [18]
Selain itu, pada tahun 30-an, Muhammad Iqbal menegaskan perlunya melakukan proses Islamisasi terhadap ilmu pengetahuan. Dalam bukunya, The Reconstruction of Religion Thought in Islam, beliau menyadari bahwa ilmu yang dikembangkankan oleh Barat telah bersifat ateistik, sehingga bisa menggoyahkan aqidah umat, sehingga beliau menyarankan umat Islam agar "mengkonversikan ilmu pengetahuan modern", atau melakukan rekonstruksi pemikiran (Syaefuddin, 1987: 51).  Akan tetapi, Iqbal tidak melakukan tindak lanjut atas ide yang dilontarkannya tersebut. Tidak ada identifikasi secara jelas problem epistimologis mendasar dari ilmu pengetahuan modern Barat yang sekuler itu, dan juga tidak mengemukakan saransaran atau program konseptual atau metodologis untuk mengkonversikan ilmu pengetahuan tersebut menjadi ilmu pengetahuan yang sejalan dengan Islam. Sehingga, pada saat itu, tidak ada penjelasan yang sistematik secara konseptual mengenai Islamisasi ilmu pengetahuan. 
Ide Islamisasi ilmu pengetahuan ini dimunculkan kembali oleh Syed Hossein Nasr, pemikir muslim Amerika kelahiran Iran. Beliau menyadari akan adanya bahaya sekularisme dan modernisme yang mengancam dunia Islam. Karena itulah beliau meletakkan asas untuk konsep sains Islam dalam aspek epistemologis, ontologi maupun aksiologis melalui karyanya Science and Civilization in Islam, Islamic Science, dan Islamic Art and Spirituallity. Melalui Science and Civilization in Islam dan Islamic Science. Nasr memaparkan filsafat islami tentang ilmu (Syaefuddin, 1987: 28). Melalui Islamic Art and Spirituallity Nasr menjelaskan tentang hubungan seni dengan spiritualitas (Nasr, 1993: 13).
Era Globalisasi ini nyata mengguras semua Aturan Islam kalau tidak di tangani dengan baik maka tidak tertutup kemungkinan generasi islam  semakin terpuruk dalam bidang keilmuanya padahal punca ilmu pengetahuan hampir semua ditemukan oleh ilmuan ilmuan Muslim di masanya. Maka islamisasi Ilamu sangat dibutuhkan agar ilmu dan Islam berjalan bersama seperti mata uang yang tidak bisa dipisahkan belahan kepingannya begitulah layaknya antara Islam dan Ilmu, karena diakui tidak diakui bahwa ilmu lahir dari rahimnya Islam. Namun seiring perkembangan Jaman dan persentuhan berbagai pemikiran dan peradaban jadilah ilmu yang terkotak – kotak dan pemisahan ilmu dari agama dan tergantung wilayah pemkembangannya masing – masing.
Menurut al-Attas, ilmu pengetahuan tidak bersifat netral dan bebas nilai. Sehingga ketika ilmu berkembang di sebuah wilayah, ilmu tersebut dibentuk berdasarkan nilai-nilai budaya, ideologi, dan agama yang dianut oleh para pemikir dan ilmuan di wilayah tersebut. Kemudian terjadilah apa yang disebut sebagai Helenisasi Ilmu, Kristenisasi Ilmu, Islamisasi Ilmu pada masa klasik Islam, kemudian Westernisasi ilmu dalam bentuk sekularisasi oleh masyarakat Barat terhadap ilmu. Oleh karena itu proses “Islamisasi” oleh Mulyadhi Kartanegara, adalah suatubentuk “naturalisasi” ilmu dalam rangka meminimalisir dampak negatif sains sekuler terhadap kepercayaan agama. [19] Menurut al-Attas, ada lima faktor yang menjiwai budaya dan peradaban Barat: (1) akal yang diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia; (2) bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran; (3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler; (4) membela doktrin humanisme; (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah kemanusiaan. [20]  Dari paparan al – attas akan faktor yang menjiwai budaya dan peradaban barat memang sangat dibutuhkan penangkal yaitu kembali kepada Islam dengan Islamisasi Ilmu.
Pada hakikatnya, sumber ilmu hanya satu yaitu Allah SWT.  Sumber – sumber yang dimasukkan diatas hanyalah saluran saluran yang harus dilalui untuk memperoleh untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Indra lahir hanyalah penangkap pertama dari realitas, setelah itu diperoses oleh indra batin. Selanjutnya, daya representasi menyimpan data yang telah diproses untuk diterima dan dimaknai. Data yang sudah dimaknai disimpan dalam ingatan, kemudian daya imajinasi memasukkan makna – makna yang tersimpan  dalam ingatan ke dalam fakultas rasional manusia yang mengelola data, sehingga makna – makna yang ada terkait dengan rupanya. Setelah itu baru mendapatkan pemahaman tentang alam semesta. [21] Kini saatnya kita generasi Islam harus benar – benar memikirkan untuk sebuah perubahan yang nyata bangkit kembali membumikan semua disiplin ilmu dengan ke Islaman.
Metodelogi yang ditawarkan Al- Faruqi untuk melakukan islamisasi Ilmu pengetahuan modern adalah kembali keprinsip - prinsip pokok metodologi Islam, yaitu ; (1)Tauhid atau aqidah (2)kesatuan alam semesta, yang meliputi pemahaman tentang (a) tata kosmis, (b) tujuan ukhrawi penciptaan,(c) ketundukan alam semesta kepada manusia; (3) kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan; (4) kesatuan hidup, yang mencakup hidup sebagai (a) amanah Tuhan, (b) khalifah dan (c) kelengkapan; serta (5) Kesatuan umat manusia. [22]   Selain prinsip – prinsip tersebut Al faruqi juga menawarkan 5 rencana kerja dan 12  langkah – langkah dalam Islamisasi Ilmu.  Kelima rencana kerja dimaksud adalah sebagai berikut : (1) Menguasai disiplin Ilmu Modern, (2) menguasai Khazanah Islam, (3) menentukan relevansi Islam bagi setiap bidang ilmu modern, (4) mencari sintesa kreatif antara khazanah Islam dan ilmu modern, dan (5) mengarahkan aliran pemikiran Islam ke jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah SWT. [23]
Berikut 12 Langkah – langkah yang di tawarkan oleh Al Faruqi:[24]
1.      Penguasaan Ilmu pengetahuan Modern secara kategori.
2.      Survey disiplin Ilmu.
3.      Penguasaan Khazanah Islam.
4.      Penguasaan Khazanah Ilmiah Islam terhadap analisa.
5.      Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin ilmu.
6.      Penilaian Kritis terhadap disiplin Ilmu Modern dan tingkat perkembangannya di masa kini.
7.      Penilaian Kritis terhadap Khazanah Islam dan tingkat perkembangannya dimasa kini.
8.      Survey terhadap permasalahan yang dialami umat Islam.
9.      Survey terhadap permasalahan yang dihadapi umat manusia.
10.   Analisa Kreatif dan sintesa
11.   Penuangan kembali disiplin Ilmu mudern ke dalam kerangka Islam melalui buku – buku daras tingkat universitas.
12.  Penyebaran Ilmu yang telah di Islamisasi


C.           Ilmuisasi Islam

Ilmuisasi islam juga sebuah pemikiran dari beberapa tokoh yaitu setelah adanya gerakan islamisasi ilmu boleh dikatakan sebagai auto kritik terhadap pemikiran islamisasi Ilmu. Namun menurut kami tidak jauh beda hanya cara pandang  dan pola pikir saja yang berbeda pada intinya semua tokoh – tokoh ini khawatir dan gelisah akan keterpuruhan islam dalam mengkaji ilmu – ilmu atau dalam hal melahirkan iilmu – ilmu baru.
 Di antara para ilmuan muslim yang menempuh upaya Ilmuisasi Islam adalah Mahdi Ghulsyani, Ziau’ al-Din Sadr dan Kuntowijoyo. Disini hanya di kemukakan konsep ilmuisasi islam Mahdi Ghulsyani dan Kuntowijoyo, serta sedikit kritik Ziau’ al-Din Sadr terhadap upaya islamisasi ilmu yang dilakukan antara lain oleh al – Faruqi dan ilmuan Muslim sejalur dengannya. Mereka melakukan langkah dan metode yang berbeda dengan al-Faruqi dalam membangun sains Islam. [25]  Para penolak Islamisasi ilmu ketika kita teliti lebih jauh adalah para tokoh yang tidak sepakat Islamisasi Ilmu selalu di kaitkan dengan kata kembali ke al-Qur’an dan hadits dan meletakkannya sengai suber pengetahuan.
Pada umumnya para pengkritik Islamisasi Ilmu berpendapat bahwa sains adalah mengkaji fakta-fakta objektif dan independen dari manusia di mana budaya dan agama harus dipisahkan dari nilai-nilai. Abdus Salam, misalnya mengatakan hanya ada satu sains universal, problem-problemnya dan bentuk-bentuknya adalah internasional dan tidak ada sesuatu seperti sains Islam, sebagaimana tidak ada sains Hindu, sains Yahudi, atau sains Kristen. [26] Selain Abdus Salam, Pervez Hoodbhoy, juga menyatakan bahwa tidak ada sains Islam tentang dunia fisik, dan usaha untuk menciptakan sains Islam merupakan pekerjaan sia-sia, sebagaimana telah diungkap Sir Syed Ahmed Khan, bahwa tujuan agama lebih pada usaha meningkatkan moralitas ketimbang menjelaskan fakta-fakta sains. [27] Tentunya masih banyak lagi kritikan kritikan atas ketidak setujuan  tentang metode islamisasi ilmu yaitu dengan berbagai argumenya masing – masing.  Lebih ringkas, dalam mengkritik konsep Islamisasi Ilmu pengetahuan ini, Soroush menyatakan; (1) metode metafisis, empiris atau logis adalah independen dari Islam atau agama apa pun. Metode tidak bisa diislamkan; (2) Jawaban-jawaban yang benar tidak bisa diislamkan. Kebenaran adalah kebenaran itu sendiri dan tidak bisa diislamkan; (3) Pertanyaan dan masalah yang diajukan dalam sains adalah untuk mencari kebenaran, meskipun diajukan oleh nonmuslim; (4) Metode yang digunakan dalam sains juga tidak bisa diislamkan. [28]
            Dari berbagai metode dan pemikiran tentang Ilmuisasi Islam para pengkritik rata – rata gagal menempatkan landasan yang kokoh untuk mengatikan Islamisasi Ilmu dan pada akhirnya hanya Kuntowijoyo yang melahirkan buku yang berjudul; Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika   tentunya buku kunto ini banyak dijadikan rujukan dari berbagai kalangan terlebih mereka yang menolak pemkiran Islamisasi Ilmu.                   Di pengantar bukunya, secara tegas Kuntowijoyo mengatakan, “… gerakan intelektual Islam harus melangkah ke arah Pengilmuan Islam. Kita harus meninggalkan Islamisasi Pengetahuan….”.[29] Dari pernyataan diatas jelas terlihat ada konflik yang tidak berkesesuaian pemikiran terhadap Islamisasi Ilmu.
Kuntowijoyo menyanggah gagasan Islamisasi Ilmu pengetahuan lantaran mengingkari objektivasi ilmu. Menurutnya, ilmu pengetahuan yang benar-benar objektif tidak perlu diislamkan sebab Islam mengakui objektivitas. Suatu teknologi, akan tetap sama saja di tangan orang Islam ataupun non Islam. Asumsi inilah yang mendasari Kuntowijoyo untuk lebih memilih konsep Pengilmuan Islam daripada Islamisasi Ilmu.
Islam mengakui objektivitas, maka ilmu yang benar-benar objektif tidak perlu diislamkan, suatu teknologi akan sama ditangan orang Islam atau orang kafir. Metode dimanapun sama, apakah itu metode survey, metode partisipan, atau metode grounded dapat dipakai dengan aman tanpa resiko bertentangan dengan keimanan. Maka tidak perlu ada kekhawatiran pada ilmu-ilmu yang benar-benar objektif dan sejati. Untuk ilmu yang benar-benar objektif kiranya sangat bergantung pada niat individu, maka niat individu itu yang memerlukan Islamisasi bukan ilmunya.
Secara harfiah, frasa “Pengilmuan Islam” berarti menjadikan Islam sebagai ilmu. Dengan “Pengilmuan Islam”, yang ingin ditujunya adalah aspek universalitas klaim Islam sebagai rahmat bagi alam semesta—bukan hanya bagi pribadi-pribadi atau masyarakat Muslim, tapi semua orang; bahkan setiap makhluk di alam semesta ini. “Rahmat bagi alam semesta” adalah tujuan akhir pengilmuan Islam. Rahmat itu dijanjikan bukan hanya untuk Muslim tapi untuk semuanya. Tugas Muslim adalah mewujudkannya; pengilmuan Islam.
Pengilmuan Islam dicoba dipahami dengan membandingkannya dengan Islam sebagai mitos dan ideologi. Untuk lebih jauh memahami ini dalam konteks yang lebih luas, kita bisa melihat alternatif lain bagi gerakan Pengilmuan Islam. Dalam konteks yang berbeda, Kuntowijoyo membandingkan pengilmuan Islam dengan kodifikasi Islam dan Islamisasi Ilmu. [30]  
Selain Kontowijoyo konsep Ilmu juga di lontarkan oleh Mahdi Ghulsyani, dimana Ghulsyani mengkritik beberapa ulama termasuk pendapat Al Ghazali tentang klasifikasi ilmu yaitu : unsur, furu’,mukadimah dan taklimat. Ghulsyani mengemukan kritiknya dengan  beberapa argumen, yaitu : pertama,  Klasifikasi seperti itu dapat menyebabkan kesalahan memandang banwa “ ilmu non-agama” terpisah dari Islam, kedua, alasan lain mempercayai bahwa ilmu terpuji bukan hanya ilmu tauhid atau hukum – hukum syariah yang berhubungan  dengan nilai haram halal saja, melainkan mencakup segenap warisan tak ternilai yang diwariskan oleh para ulama terdahulu satu abad setelah hijriah. Ketiga, memilah – milah kelompok ilmu dengan alasan ilmu tidak dimiliki kesamaan nilai dengan studi keagamaan tidaklah benar. [31]
Ghulsyani mengusulkan langkah – langkah operasional yang prakstis dalam ilmuisasi islam dan harus di lakukan oleh umat Islam, antara lain; [32]
1.      Seperti para ulama atau kaum ilmuan abad kecemerlangan Islam,kita harus mempelajari seluruh ilmu pengetahuan yang berguna dari orang lain.
2.      Membangun kembali integrasi antara ilmu – ilmu agama dan ilmu – ilmu kealaman.
3.      Untuk mencapai kemerdekaan penuh umat islam dari cengkraman barat, negara – negara islam perlu mengambil langkah – langkah untuk melatih para spesialis di berbagai bidang keilmuan dan industri yang penting.
4.      Penelitian Ilmiah harus dipikirkan sebagai sebuah pencarian penting dan mendasar, bukan kegiatan sambil lalu atau sekunder.
5.      Harus ada kerjasama antar negara Muslim di bidang penelitian dan teknologi
6.      Di sekolah - sekolah dan penguruan tinggi negara - negara muslim harus memberi perhatian utama kepada problem pembangunan moral para pelajar dan mahasiswa.
Jika mahdi melakukan Ilmuisasi islam melalui perspektif ilmu alam yang dialaminya, maka Kuntowijoyo mengintrodusir konsep ilmuisasi Islam lewat ilmu sosial budaya yang menjadi konsentrasinya selama ini. Keseluruhan gagasan Kunto dapat diidentifikasi berkisar pada aspek epistimologi, metodologi, dan etika. [33]

D.    Integrasi Ilmu

Ditengah pro kotra Islamisasi ilmu dan ilmuisasi Islam muncul paradigma baru yaitu konsep integrasi. Dr. Danial.Ma dalam bukunya Filsafat Ilmu (Fajar Pustaka baru : 2017) menyampaikan bahwa dalam hal, mengatasi dan menyempurnakan berbagai kelemahan dan kekurangan dua model diatas, maka muncullah tawaran integrasi antara  ilmu dan agama. Tawaran model integrasi oleh kaum ilmuan muslim inipun sangat bervariasi. Namun, salah satu model yang akan diketengahkan disini adalah apa yang digagas oleh Muhammad Amin Abdullah dengan julukan Jaring laba – laba. Menurut Amin model ini sangat dibutuhkan untuk menghadapi berbagai perubahan global yang disodorkan kehadapan umat islam. Diantaranya adalah globalisasi, migrasi, revolusi ilmu pegetahuan dan teknologi, eksplorasi ruang angkasa, pesatnya perkembangan dunia pendidikan, bertambahnya kesadaran tentang harkat dan martabat manusia, semakin dekatnya hubungan antar agama, munculnya konsep negara bangsa, dan isu gender. [34] Dari paparan ini tentunya sangat koplik dan pelik kondisi yang akan di hadapi oleh umat islam khususnya dalam hal ilmu pengetahuan, belum lagi ada pro dan kontra dengan konsep – konsep yang ada. Maka memang perlu adanya orang – orang yang serius dalam menghadapi era ini, orang – orang yang serius memajukan pendidikan Islam dari berbagai disiplin Ilmu. Dan dalam hal ini kampus pendidikan Islam baik Negeri ataupun swasta harus bergandeng tangan dalam hal melahirkan, ilmuan – ilmuan yang memihak kepada Islam dan tidak memisahkan antara agama dan pengetahuan. Menurut Azyumardi Azra, sebagai Rektor UIN Jakarta pertama, sekaligus tim penggagas terbentuknya UIN Jakarta, menyatakan:
Islam sebagai agama universal dan berlaku sepanjang zaman bukan hanya mengatur urusan akhirat, tetapi juga urusan dunia. Demikian pula Islam mengatur ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hubungan terhadap Tuhan, dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan keduniaan. Islam mengatur keduanya secara integrated, yaitu bahwa apa yang disebut sebagai ilmu agama sebenarnya di dalamnya juga mengatur ajaran tentang bagaimana sesungguhnya hidup yang baik dan beradab di dunia ini. Juga apa yang sebenarnya disebut ilmu umum, sebenarnya amat juga dibutuhkan dalam rangka berhubungan dengan Tuhan. [35]
Tidak dipungkiri lagi secara aksiologis penyatuan ilmu dan agama adalah sebuah keniscayaan untuk tercapainya kesejahteraan umat manusia, hanya saja diperlukan harus sangat banyak pengembangan pada tingkat epistemologis, walaupun dalam metodologisnya masih banyak kekurangan disana sini, namun integrasi harus tetap berjalan sambil memperbaiki semua tatanan keilmuan khususnya dalam hal metodologis. Tim UIN Jakarta (2006) merumuskan epistemologi keilmuan dengan hubungan empat unsur, yaitu keislaman, keilmuan, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Bagi UIN Jakarta, antara Ilmu Pengetahuan Umum dan Ilmu Pengetahuan Agama dapat berinteraksi secara dialogis, membuka diri untuk saling memanfaatkan atau saling melebur. Misal, ilmu fikih dapat memberi bantuan pada aspek aksiologis sampai batas mana kewenangan penelitian biologi dapat dilakukan, atau memberi asumsi awal sesuatu yang didasarkan pada sumber agama Islam (al-Qur‟an dan Hadis). Pada saat yang sama, biologi dapat membantu ilmu fikih dari sisi penyediaan data empirik yang dibutuhkan untuk menentukan hukum suatu barang atau perbuatan. [36] Hanya saja, epistemologi integrasi keilmuan masih belum dikemukakan sistematika teoritisnya secara detail dan aplikatifnya dalam perspektif tafsir al-Qur‟an. Hal tersebut sejalan dengan statemen Azyumardi Azra yang menyatakan bahwa tantangan terkini umat Islam, terkait dengan program integrasi agama dan ilmu pengetahuan ada dua hal. Pertama, ilmu-ilmu yang terpisah dari nilai-nilai spiritual dan etis. Kedua, marginalitas ilmu-ilmu berhadapan dengan apa yang disebut ilmu-ilmu agama. Tantangannya di sini adalah membawa ilmu-ilmu ke dalam mainstream perspektif Islam, ilmu secara utuh. Rekonsiliasi dan reintegrasi antara dua kelompok keilmuan, yaitu ilmu-ilmu yang berasal dari al-âyât al-qur’ânîyah dan yang berasal dari al-âyah al-kawnîyah, berarti kembali pada kesatuan transenden semua ilmu pengetahuan. [37] Tentang Paradigma integrasi juga dinyatakan oleh Ismail Raji al-Faruqi dengan mengemukakan istilah “islamisasi ilmu pengetahuan” melalui lima tahapan. Pertama, penguasaan disiplin ilmu modern. Kedua, penguasaan khazanah Islam. Ketiga, penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern. Keempat, pencarian sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu modern. Kelima, mengarahkan aliran pemikiran Islam ke jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah. Ismail Raji al-Faruqi mengemukakan juga pentingnya relevansi ilmu-ilmu Islam dengan ilmu modern dan sintesa kreatif keduanya, tetapi ia tidak mengemukakan tentang bagaimana proses relevansi ilmu-ilmu modern dengan teks al-Qur‟an termasuk tidak diungkapkan tentang proses penilaian kritis dan sintesa kreatifnya dalam penafsiran teks al-Qur‟an. [38]
Namun Muhammad Amin Abdullah mencoba menmengilustrasikan model integrasi interkoneksi antara Ilmu dan agama atau antara sains modern dan Khazanal intelektual Islam. [39] Model integrasi yang diusulkan amin seperti yang di kutip Danail dalam bukunya filsafat Ilmu adalah model triadik – dialektis antara hadharah al nas (ilmu keislaman), hadarah al- ‘ilm (sains modern), dan hadharah al – falsafah (filsafat). Model ini disebut oleh amin di sebut tengan interconnected entities. [40]
Menanggapi tiga gagasan dan pemikiran diatas  yaitu islamisasi ilmu, ilmuisasi Islam dan integrasi Ilmu, Dr. Danial.Ma  menulis dalam Filsafat Ilmunya bahwa setiap model yang digagas memiliki kelebihan dan kelemahan,sehingga semuanya dapat saling melengkapi. Jika pemikiran mereka di rajut satu sama lain, maka terbentuklah sebuah kontruksi filosofis pembangunan ummat islam dan ilmu pengetahuan serta teknologi, sekaligus langkah praktis untuk mewujudkannya. Rekonstruksi aspek antologis dan aksiologis sainsmodern yang di introdusir antara lain oleh Mahdi Ghulsyani dan Sayyed Nuquib al – Attas, dan Kontowijoyo dirajut dengan rekonstruksi epistemologis Muhammad Amin Abdullah, serta langkah – langkah praktis yang digagas Al- Faruqi, maka akan melahirkan sebuah bangunan ilmu pengetahuan yang mampu mengoreksi kelemahan yang dimiliki sains modern sekaliagus menjamin kemaslahatan manusia dunia dan sekaligus akhirat. . [41]

III.             PENUTUP

Pertama;Dari pembahasan tiga gagasan pemikiran diatas, islamisasi ilmu, ilmuisasi islam dan Integrasi ilmu tentunya kita dapat melihat warna – warna pemikiran yang berbeda tentang Ilmu pengetahuan namun dibalik perbedaan cara pandang dan pemahaman tersebut kita wajib berbangga hati bahwa masih ada ilmuan ilmuan muslim yang masih sangat konsen memikirkan akan kemanjuan islam khususnya dalam hal pengembangan Ilmu pengetahuan berdasarkan keislaman.
Kedua; pemikiran diatas berbicara bagaimana menyatukan antara ilmu dan agama atau lebih jelasnya adalah bagaimana hubungan ilmu dan agama. Khususnya Islamisasi ilmu dan Ilmuisasi Islam kedua konsep pemikiran ini terlihat seakan ada bentrokan yang berkelanjutan hingga datang pemikiran yang ketiga yaitu integrasi Ilmu. Kalau diperhatikan secara seksama ketiga pemikiran ini menitikan pada satu titik yang sama yaitu sama – sama menempatkan Al quran dan Hadits dalam Ilmu pengetahuan.
Ketiga: harus adanya perekat untuk menyatukan ketiga konsep diatas demi mencapai kemajuan ilmu pengetahuan islam.
  

Daftar Pustaka

Al – Quranul Qarim
Azyumardi Azra, “Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam”, dalam Bagir (ed.), Integrasi Ilmu dan Agama

Andi Rosadisastra, Integrasi Ilmu Sosial dengan Teks Agama dalam perspektif tafsir Al quran, Jurnal Mutawatir |Vol.4|No.1| Januari-Juni 2014

Artikel Islamisasi Ilmu Pengetahauan, Disampaikan pada acara Seminar Islam Akbar (SIAR) 1435 H, BEM FMIPA Universitas Hasanuddin, Indonesia oleh  Muhammad Agung Bramantya, ST., MT., M.Eng., Ph.D.  
Azyumardi Azra, “Kata Pengantar” dalam Abdurrahman Kasdi, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum: Mencari Format Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003)
Danail, Filsafat Ilmu  Cet-3, Yogyakarta, Fajar Pustaka baru 2017
Ensiklopedi Islam, editor bahasa, Ninam Armando, 2005. Ichtiar baru van hoeve,
H. Ahmad Syadali, dan Mudzakir,  Filsafat Umum, Bandung Pustaka setia, 1997
Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, pengarang buku dari Mesir salah satu bukunya, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia

Peter salim & yenny .Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,Jakarta 1986
Web http://www.fauzulmustaqim.com/2016/10/makalah-islamisasi-ilmu-pengetahuan.html
Miftahul. jurnal  Historisitas Islamisasi Ilmu Pengetahuan Isma’il Raji al-Faruqi. Islamisasi Pengetahuan. Bandung 2003, Pustaka. Cet ke-3

M. Zainuddin, Filsafat Ilmu: Persfektif Pemikian Islam. 2003 Malang: Bayu  Media

https://id.wikipedia.org/wiki/Integrasi_sosial
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta 1996: Gramedia          
      
kamus besar bahasa Indonesia pusat bahasa, edisi keempat,      Departemen Pendidikan Nasional  Jakarta2008 :Gramedia

Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan kurikulum, hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan Bandung: Nuansa, 2003

Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 17 Nomor 1 (Juni) 2013
Salafuddin  Jurnal FORUM TARBIYAH Vol. 11, No. 2, Desember 2013
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, Juni 2003) 
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995)
Rosnani Hashim, “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer”. dalam Majalah Islamia, Tahun 01. No. 6/Juli-September 2005
Pervez Hoodbhoy,Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas,Sari Meutia (Bandung: Mizan, 1996)

Ismail Thoib dan Mukhli,  Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 17 Nomor 1 (Juni) 2013 
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika,Bandung: Teraju, 2004 
Tim Perumus, Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menuju Universitas Riset (UIN Jakarta: Jakarta Press, 2006)





[1] Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, pengarang buku dari Mesir salah satu bukunya, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia.
[2] Al Quranul karim Surat Al Alaq Ayat 1-5.

[3] Artikel Islamisasi Ilmu Pengetahauan, Disampaikan pada acara Seminar Islam Akbar (SIAR) 1435 H, BEM FMIPA Universitas Hasanuddin, Indonesia oleh  Muhammad Agung Bramantya, ST., MT., M.Eng., Ph.D.   .

 [4] ibid 

[5]  Peter salim & yenny .Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,Jakarta 1986 h 971
[6]  H.Ahmad Syadali, dan Mudzakir,  Filsafat Umum, Bandung Pustaka setia, 1997  h 34
[7]  Web http://www.fauzulmustaqim.com/2016/10/makalah-islamisasi-ilmu-
     pengetahuan.html
[8]  Ibid
[9]  Miftahul.jurnal  Historisitas Islamisasi Ilmu Pengetahuan  h 7
[10]  Isma’il Raji al-Faruqi. Islamisasi Pengetahuan. Bandung 2003, Pustaka. Cet ke-3.h. 38-39.
[11]  M. Zainuddin, Filsafat Ilmu: Persfektif Pemikian Islam. 2003 Malang: Bayu  Media, h 160
[12]  https://id.wikipedia.org/wiki/Integrasi_sosial
[13]  John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta 1996: Gramedia          
          h. 326
[14]  kamus besar bahasa Indonesia pusat bahasa, edisi keempat, 
                Departemen Pendidikan Nasional  Jakarta2008 :Gramedia h. 270

[15] Ensiklopedi Islam, editor bahasa, Ninam Armando, 2005. Ichtiar baru van hoeve, h.161
[16]  Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan kurikulum, hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan Bandung: Nuansa, 2003
[17]  Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 17 Nomor 1 (Juni) 2013

[18]  Salafuddin  Jurnal FORUM TARBIYAH Vol. 11, No. 2, Desember 2013

[19] Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, Juni 2003) 
[20]  Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 88- 108 
[21] Danail, Filsafat Ilmu  Cet-3, Yogyakarta, Fajar Pustaka baru 2017 h 169
[22]  Danail, Filsafat Ilmu  Cet-3, Yogyakarta, Fajar Pustaka baru 2017 h 162
[23]  Ibid... h 162
[24]  Ibid... h 162 - 166
[25]  Ibid...h 169
[26]  Rosnani Hashim, “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer”. dalam Majalah Islamia, Tahun 01. No. 6/Juli-September 2005, 35.

[27]  Pervez Hoodbhoy,Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas,Sari Meutia (Bandung: Mizan, 1996), h 138. 
[28] Ismail Thoib dan Mukhli,  Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 17 Nomor 1 (Juni) 2013  h 83
[29] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika,Bandung: Teraju, 2004 



[30] Ibid...  h 6 - 11

[31] Ibid...  h 172 - 173
[32] Ibid...  h 178 - 179


[33] Ibid...  h 179
[34] Danail, Filsafat Ilmu  Cet-3, Yogyakarta, Fajar Pustaka baru 2017 h 185


[35] Azyumardi Azra, “Kata Pengantar” dalam Abdurrahman Kasdi, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum: Mencari Format Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), h viii.
[36] Tim Perumus, Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menuju Universitas Riset (UIN Jakarta: Jakarta Press, 2006), h xv-xvi.
[37]Azyumardi Azra, “Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam”, dalam Bagir (ed.), Integrasi Ilmu dan Agama, h 210
[38]  Andi Rosadisastra, Integrasi Ilmu Sosial dengan Teks Agama dalam perspektif tafsir Al quran, Jurnal Mutawatir |Vol.4|No.1| Januari-Juni 2014 h 92
[39]  Danail, filsafat ilmu h 186
[40]  Danail, filsafat ilmu h 186
[41]  Danail, Filsafat  Ilmu h 189





Share on : Facebook Twitter Google+

Tidak ada komentar:

Posting Komentar