Trending Template

Makalah: Pemikiran Teologi Islam

Selasa, Januari 30, 2018


 PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM KLASIKN: MU'TAZILAH,ASY'ARIYAH DAN MATURIDIYAH

ilustrasi, sampul buku gerakan keagamaan
Oleh : Zulkarnen,S.Pd
Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Lhokseumawe

I.   PENDAHULUAN

 Gerakan Pemikiran Islam di Periode klasik ini menarik untuk dikaji khususnya Pemikiran Teologi Islam Klasik. Istilah teologi yang kemudian dihubungkan dengan Islam sebenarnya tidak dikenal dalam literatur Islam. Istilah yang populer di kalangan Islam hanyalah: Ushul al-Din, `Ilm al-`Aqaid, `Ilm Al-Kalam, `Ilm Tawhid. Tetapi dalam perkembangan­nya, terutama ketika para ilmuwan Islam mulai bersentuhan dengan kaum intelektual dari Barat (Kristen), istilah teologi  lebih cenderung banyak atau populer dipakai ilmuwan bila dibandingkan dengan yang khas atau asli dari dunia pemikiran muslim itu sendiri. Dimana membahas tentang  pengetahuan yang membicarakan mengenai siapa Tuhan, dari mana Tuhan, dimana Tuhan, dan ruang lingkup kekuasaan-Nya.
Islam yang kita yakini, ketahui, dan tafsirkan selama ini adalah berasal dari Tuhan, Allah pencipta alam semesta, sejak kenabian Adam as sampai Muhammad saw. Apa saja yang dikehendaki oleh Tuhan selanjutnya disampaikan kepada makhluk-Nya yang berjenis manusia. Manusia diberi akal; melalui akalnya Allah berharap agar setiap manusia mampu menangkap, memahami, menghayati, serta mengamalkan kehendak tersebut. Kehendak dari Tuhan itu diberitahukan kepada manusia melalui para nabi/rasul-Nya agar mereka tidak keluar dari kehendak-Nya. Di sinilah terjadi pertemuan antara wahyu dengan akal. Hasil akal yang bila dioptimalkan  penggunaannya tidak bertentangan dengan wahyu dari Allah, sebab akal adalah alat berpikir, sedangkan wahyu adalah tuntunan atau bimbingan dari Tuhan.
Akal yang diberikan Tuhan kepada manusia sangat strategis dan mempunyai kedudukan tinggi dalam ajaran Islam. Dengan demikian, dalam perjalanan hidup ini, setiap manusia pada dasarnya memperoleh dua “pintu” pengetahuan, yaitu (1) wahyu, dan (2) akal. Tuhan yang memberitahukan tentang kehendak itu bernama kalam atau wahyu. Kandungan kalam atau wahyu itulah yang kemudian kita kenal dengan ajaran Tuhan. Berdasarkan informasi kalam tersebut , sebagaimana yang termaktub di dalam Alquran kitab suci agama Islam. Seluruh kehendak atau kalam itu bersifat petunjuk atau pedoman kehidupan manusia yang kemudian kita sebut sebagai ajaran Islam.
Apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi Muhammad pada awalnya tunggal, yakni diterima dan disampaikan oleh satu orang, yaitu Nabi Muhammad saw dan disampaikan serta dipraktikkan langsung oleh beliau semasa hidupnya. Maka, Nabi Muhammad saw saat itu adalah satu-satunya sumber yang menyampaikan Islam, menginterpretasikan wahyu yang diterima dari Allah, serta mempraktikkan bagaimana seharusnya ajaran Islam itu diamalkan. Beliau adalah tempat bertanya dan mengembalikan bagaimana solusi menurut ajaran Islam bila ada masalah yang timbul atau dihadapi oleh umat, baik dalam hubungannya dengan masalah keduniawian maupun masalah keakhiratan.
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, akal semakin banyak memikirkan berbagai sisi kehidupan, masalah hidup dan kehidupan semakin kompleks, teks wahyu yang termaktub di dalam kitab Alquran membuka peluang kepada siapa pun untuk menafsirkan sesuai dengan masalah kehidupan dan tanggung jawab moralnya, maka wahyu Tuhan tersebut melahirkan berbagai pandangan. Pandangan tersebut berasal dari para ahli agama Islam yang disebut ulama (bukan ahli fiqh saja) dalam upayanya membimbing umat manusia kepada jalan yang dikehendaki-Nya. Karena berbagai perbedaan yang melatarbelakangi seorang ulama, maka lahirlah kemudian istilah “aliran”  baik dalam hal fiqih maupun aqidah kalau dalam bidang fiqih lahirlah  “mazhab”. Dan dalam hal aqidah lahirlah aliaran aliran pemikiran khususnya dalam makalah ini penulis mempersempih kajian khusus pemikiran aliran Mu’tazillah, Asy’ariyah dan Maturidiyah.


A.    Rumusan Masalah
Dari uraian di atas yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah;
1.      Bagaimana latar belakang lahirnya aliran dalam islam periode klasik ; Mu’tazillah, Asy’ariah dan Maturidiyah ?
2.      Bagaimana pemikiran aliran Mu’tazillah, Asy’ariah dan Maturidiyah ?

B.     Tujuan
Maka yang menjadi tujuan makalah ini dalah;
1.      Untuk mengetahui latar belakang lahirnya aliran Islam Periode klasik ; Mu’tazillah, Asy’ariyah dan Maturidiah.
2.      Untuk mengetahui pemikiran dari aliran ; Mu’tazillah, Asy’ariyah dan Maturidiah


I.                    LANDASAN TEORITIS

A.    Pengertian Teologi
Gerakan Pemikiran Teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan  dengan  keyakinan agama.[1] Dalam agama islam teologi disebut juga ilmu kalam ataupun ilmu tauhid. Menurut  Ibnu Khaldun (1333-1406) seperti yang dikutip oleh Sahulun A Nasir dalam  buku Teologi Islam (ilmu kalam) pengertian ilmu kalam adalah ilmu yang  berisi alasan – alasan mempertahankan kepercayaan – kepercayaan iman, dengan mempergunakan dalil – dalil pemikiran berisi batahan – bantahan terhadap orang – orang yang menyeleweng dari kepercayaan salaf dan ahli sunnah.[2]
Maka yang menjadi maksud teologi disini adalah ilmu yang membahas ketuhana ataupun pemikiran/keyakinan aliran-aliran dalam agama islam.

B.     Latar belakang Berdirinya Mu’tazillah, Asy’ariyah dan Maturidiah.

1.    Mu’tazillah
Mu’tazilah lahir di Bashrah (Irak) abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan ajarannya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48).Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah). (Al-Milal Wan-Nihal, hal.29). Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’, pen) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal, menurut persangkaan mereka maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. (Lihat kata pengantar kitab Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/65).
2.    Asy‘Ariyah
Pendiri aliran as’ariyah bernama Abul hasan ali bin ismail al-asyari, keturunan dari abu musa al-asy’ari, sala seorang perantara dalam sengketa antara ali dan mu’awiyah. Al-asyari lahir pada tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M. Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang mu’tazilah terkenal, yaitu al-jubai, ia mempelajari aliran-aliran mu’taziah dan mendalaminya. Aliran ini di ikutinya terus sampai berusia 40 tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya di gunakan untuk mengarang buku-bku kemu’tazilahan. Ketika mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya selama 15 hari, kemudian pergi ke masjid basrah. Di depan orang banyak ia menyatakan bahwa al-qur’an adalah mahluk, tuhan tidak dapat di lihat mata kepala, perbuatan buruk manusia sendiri yang memperbuatnya (semua aliran mu’tazilah).kemudian ia mengatakan :”saya tidak lagi memegangi pendapat-pendapat tersebut,saya harus menolak paham orang-orang mu’tazilah da menunjukkan keburukan dan kelemahanya.mulai pada saat itu beliau meninggalkan aliran mu’tazilah yang selama ini di anutnya. Sebab utama ia meninggalkan aliran mu’tazilah ialah adanya perpecahan yang di lakukan kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka kalau tidak segera di ahiri. Sebagai seorang muslim yang sangat gairah terhadap keutuhan kaum muslimin, ia sangat mengkhawatirkan keutuhan al-qur’an dan hadis menjadi korban paham-paham kaum mu’tazilah. Yang menurut pendapatnya tidak dapat di benarkan, karena di dasarkan atas pemujaan akal fikiran sebagaimana juga di khawtirkan menjadi korban sikap ahli hadis anthropomorphis yang hanya memeganginas-nas dengan meninggalkan jiwanya dan hampir-hampir menyeret islam kepada kelemahan, kebekuan yang tidak dapat di benarkan agama. Al-asy’ari karenanya mengambil jalan tengah antara golonga rasionalis dan golongan tekstualis dan ternyata jalan tersebut dapat di terima oleh mayoritas kaum muslimin.

3.    Maturidiyah
Aliran Maturidiyah lahir di Samarkand pada pertengahan abad IX M. Pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad Ibnu Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi.[3] Maturidiyah semasa hidupnya dengan Asy’ary, hanya dia hidup di Samarkand sedangkan Asy’ary hidup di Basrah. Asy’ary adalah pengikut Syafii dan Maturidy pengikut Mazhab Hanafy. Karena itu kebanyakan pengikut Asy’ary adalah orang-orang Sufiyyah, sedang pengikut pengikut Maturidy adalah orang-orang Hanafiah[4] Maturidiyah muncul sebagai reaksi terhadap pemikiran Mu’tazilah. Reaksi ini timbul karena adanya perbedaan pendapat antara aliran Mu’tazilah dan aliran Maturidiyah diantaranya[5] yaitu : Maturidiyah berpendapat bahwa kewajiban megenai Allah mungkin dapat diketahui oleh akal. Dalam hal ini, Maturidiyah tidak menggunakan tern wajib seperti yang digunakan oleh Mu’tazilah. Sementara asy’ariyah berpendapat kewajiban mengetahui ‘tidak mungkin’ melalui akal.

II.                  PEMBAHASAN

A.    Pemikiran Mu’tazillah
Mu’tazilah dikenal sebagai golongan tradisional dalam Islam, karena di antara yang ada, dialah yang paling banyak memberi fungsi terhadap akal dalam membahas masalah keagamaan. Namun demikian, untuk mengetahui secara jelas corak pemikiran aliran Mu’tazilah, maka yang menjadi pembahasan utama dalam persoalan tersebut adalah peranan akal dalam kehidupan umat manusia, karena manusia dalam hidupnya di beri dua hal yang menjadi pedoman baginya agar tidak sesat, yaitu akal dan wahyu. Jika diperhatikan pembahasan tentang fungsi akal dan wahyu dalam kehidupan beragama di kalangan Mutakallimin, senantiasa dihubungkan dengan 4 masalah pokok, yaitu: 1) Mengetahui Tuhan, 2) Mengetahui kewajiban Tuhan, 3) Mengetahui baik dan buruk, 4) Mengetahui kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk.[6] Aliran Mu’tazilah dalam melihat masalah tersebut mengatakan bahwa keempat masalah di atas bisa diketahui akal. Akal dapat dijadikan pedoman dalam menentukan baik dan buruknya sesuatu sebelum datangnya wahyu, sehingga wajib untuk melakukan penalaran yang mapan agar dapat mengantar manusia untuk mengetahui kewajiban-kewajibannya. Karena itu, akal yang sudah sempurna merupakan sumber pengetahuan yang dapat mengetahui apa yang mendatangkan mudharat dan dosa. Akal yang sudah sempurna itu dimiliki oleh orang yang sudah mukallaf, sehingga hanya dialah yang dapat mengetahui 4 masalah tersebut di atas.
Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa semua masalah secara rinci dapat diketahui oleh akal, tetapi ada hal-hal tertentu dimana akal sangat membutuhkan penjelasan wahyu karena akal mempunyai keterbatasan, yaitu dalam perincian terhadap baik dan buruk serta kewajiban umat manusia. Al Jabbar menjelaskan bahwa akal hanya dapat mengetahui sebahagian yang baik dan buruk serta kewajiban, sehingga wahyulah yang menyempurnakan pengetahuan akal tersebut, termasuk menjelaskan cara berterima kasih kepada Tuhan, seperti shalat, zakat, dan puasa. [7] Karena itu, ada pengetahuan baik yang diketahui oleh akal dan ada yang diketahui oleh wahyu, begitu pula dalam hal yang buruk. Fungsi lain dari wahyu dalam pandangan aliran Mu’tazilah dikemukakan oleh al Syahrastaniy yaitu mengingatkan manusia tentang kewajibannya dan mempercepat untuk mengetahuinya. [8] Di sini dapat dipahami bahwa jika melalui akal memerlukan waktu yang lama karena harus ada pengamatan, kemudian dipikirkan lalu mengambil keputusan. Oleh Harun Nasution dikatakan bahwa fungsi wahyu terhadap akal sebagai informasi dan konfirmasi. [9] Memberikan informasi terhadap apa yang belum diketahui oleh akal di samping mengkonfirmasikan apa yang telah diketahui akal. Aboe Bakar Atjeh menjelaskan tentang fungsi akal bagi aliran Mu’tazilah yaitu akal dapat menjangkau segala persoalan kehidupan manusia, sehingga apa yang dihasilkan oleh akal harus di terima. Jika terjadi pertentangan antara hasil akal dengan ketentuan wahyu, misalnya terhadap ayat-ayat mutasyabihat, maka harus di ta’wilkan agar sesuai dengan ketentuan akal. [10]
Aliran Mu’tazilah timbul sebagai bentuk reaksi atas  pertentangan antara kaum khawarij dan Murji’ah atas penetapan kedudukan orang yang berdosa besar. Aliran ini membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mandalam dan bersifat filosofis. Dalam pembahasannya mereka banyak memakai akal sehingga mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.[11]
Dalam pengembangan pemikirannya Aliran Muktazillah mempunyai lima ajaran penting yaitu At-Taauhid (Tauhid), Ad-Adl (keadilan), Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman), Al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi di Antara Dua Posisi) dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Perintah Mengerjakan Kebajikan dan Melarang Kemungkaran)[12]. Yang akan diuraikan sebagai berikut;


a.  At-Taauhid (Tauhid)
Ajaran pertama aliran ini berarti meyakini sepenuhnya bahwa hanya Allah SWT. Konsep tauhid menurut mereka adalah Tuhanlah satu-satunya yang Esa, hanya Dialah yang qadim. untuk memurnikan keesaanNya kaum Mu’tazila menolak adanya sifat-sifat Allah, menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat, bila sifat Tuhan qadim, berarti ada 2 yang qadim yaitu dzat dan sifat-Nya[13]. Dan menggap Alquran merupakan manifestasi kalam Allah dan Alquran itu baru (makhluk) karena Alqur’an berupa rangkaian huruf, kata-kata dan bahasa yang ditulis[14].

b.  Ad-Adl (keadilan)
Muktazillah pemahaman keadilan Tuhan mempunyai pengertian bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil Dia berbuat zalim kepada hamba-Nya. Mereka berpendapat bahwa tuhan wajib berbuat yang terbaik bagi manusia[15]. Misalnya, tidak memberi beban terlalu berat, mengirimkan nabi dan rasul, serta memberi daya manusia agar dapat mewujudkan keinginannya.

c.   Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman).
Menurut Muktazillah, Tuhan wajib menepati janji-Nya memasukkan orang mukmin ke dalam surga. Begitu juga menempati ancaman-Nya mencampakkan orang kafir serta orang yang berdosa besar ke dalam neraka.

d.  Al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi di Antara Dua Posisi).
Pemahaman ini merupakan ajaran dasar pertama yang lahir di kalangan Muktazillah. Pemahaman ini yang menyatakan posisi orang Islam  yang berbuat dosa besar. Orang jika melakukan dosa besar, ia tidak lagi sebagai orang mukmin, tetapi ia juga tidak kafir. Kedudukannya sebagai orang fasik. Jika meninggal sebelum bertobat, ia dimasukkan ke neraka selama-lamanya. Akan tetapi, sikasanya lebih ringan daripada orang kafir.


e. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Dalam prinsip Muktazillah, setiap muslim wajib menegakkan yang ma’ruf dan menjauhi yang mungkar.bagi mereka kalau dapat ia dilaksanakan dengan seruan saja dan jika perlu dapat dilaksanakan dengan kekerasan,[16] dalam sejarah, mereka pernah memaksakan ajarannya kepada kelompok lain,Orang yang menentang akan dihukum.konsep inilah yang disinyalir membawa kehancuran Mu’tazila.

Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah
-          Washil bin ‘Atha al Ghazzal (699-748 M), sebagai  pendiri aliran Mu’tazilah yang pertama dan peletak lima besar ajaran Mu’tazilah.
-          Abul al-Huzail al-Allaf (135-226 H / 753-840 M),
-          Ibrahim bin Sayyar an Nazzam( w 231 H/845 M),
-          Muammar bin Abbad as-Sulamy (w 220 H/ 835 M)
-          Al- Jubai (w 295 H)
Dan Masih banya lainnya

B.      Pemikran Asy’ariyah
Formulasi pemikiran Al – Asy’ari, secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antar formulasi ortodoks ekstrem pada satu sisi dan Mu’tazilah pada sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat Ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak bisa 100% menghindarinya. [17]  Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut Watt dipengaruhi teologi kullabiah (teologi sunni yang dipelopori Ibn Kullab)(w.854 M) [18]


Pemikiran – Pemikiran Al – Asy’ari yang terpenting adalah sebagai berikut :
a.         Tuhan dan Sifat – Sifat – Nya
Perbedaan Pendapat di kalangan mutakalimin mengenai sifat – sifat Allah tidak dapat dihindarkan meskipun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib hukumnya. Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan yang ekstrem. Pada satu pihak, ia berhadapan dengan kelompok sifatiah (pemberi sifat), kelompok mujassimah (antropomosif), dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam al – quran dan sunnah bahwa sifat – sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Pada pihak lain, ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat – sifat allah tidak lain selain esensi – Nya, dan tangan, kaki,telingan allah atau arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi harus dijelaskan secara alegoris. Menghadapi dua kelompok yang berbeda tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa allah memiliki sifat – sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah) dan sifat – sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi secara simbolis (berbeda dengan pendapat kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat – sifat allah unik dan tidak dapat dibandingkan dengan sifat – sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat – sifat Allah berbeda dengan Allah, tetapi sejauh menyangkut realitasnya tidak terpisah dari esensi – Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan Nya[19]

b.        Kebebasan Dalam Berkehendak
Manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan serta mengaktualisasikan perbuatanya. Al-Asy’ari mengambil pendapat menengah di antar dua pendapat yang ekstrem, yaitu Jabariah yang fatalistic dan menganut paham pra – determinisme semata – mata, dan Mu’tazilah yang menganut paham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatanya sendiri. [20] Untuk menengahi dua pendapat diatas, Al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah yang mengupayakanya. Hanya Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu[21]

      c.    Akal Dan Wahyu dan Kriteria baik dan buruk
   Meskipun Al-Asy’ari dan orang – orang Mu’tazlah mengakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi persoalanyang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementar mu’tazilah mengutamakan akal[22].

d.
      Qadimnya Al-Qur’an
Mu’tazilah mengatakan bahwa Al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur'an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al- Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat: [23]


Artinya: “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah ia. (Q.S. An-Nahl:40)
Artinya: “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah ia. (Q.S. An-Nahl:40)

e.
       Melihat Allah
Al – Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok Otodoks ekstrem, terutama Zahiriah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di ‘Arsy. Selain itu, Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullahdi akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Allah menyebabkan dapat dilihat atau Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya[24]

f.       Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam cara pandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan member pahala kepada orang yang berbuat baik. Al-Asy’ari berpendapat bahwa allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak. Jika Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa allah adalah pemilik mutlak.

g.      Kedudukan Orang Berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi seorang harus satu diantaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik sebagai iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur. [25]
Berikut tokoh-tokoh aliran Asy’ariyah yang terkenal antara lain :
1. Al Baqilani (wafat 403 H)
2. Ibnu Faruak (wafat 406 H)
3. Ibnu Ishak al Isfarani (wafat 418 H)
4. Abdul Kahir al Bagdadi (wafat 429 H)
5. Imam al Haramain al Juwaini (wafat 478 H)
6. Abdul Mudzaffar al Isfaraini (wafat 478 H)
7. Al Ghazali (wafat 505 H)
8. Ibnu Tumart (wafat 524 H)
9. As Syihristani (wafat 548)
10. Ar Razi (1149-1209 M)
11. Al Iji (wafat 756 H)
12. Al Sanusi (wafat 895)

C.      Maturidiyah
Sebelum kita memahami konsep ajaran dari aliran Maturidiyah sebelum terpecah menjadi dua golongan, kita harus tahu konsep pemikiran al-Maturudi terlebih dahulu yakni kewajiban ma’rifah terhadap Allah Swt. mungkin di temukan berdasarkan penalaran akal, sebagaimana Allah Swt. telah memerintahkan untuk melakukan penalaran dalam sejumlah ayat Al-Qur’an. Allah Swt. memerintahkan kepada manusia untuk berpikir mengenai kerajaan langit dan bumi dan memberikan pengarahan kepada manusia bahwa sekira akal pikiran diarahkan secara konsisten, terlepas dari hawa nafsu dan taklid. [26] Maka dari itu, al-Maturudi memberikan kontribusi pemikirannya kurang lebih tiga ajaran yakni:
1.      Mengenai sifat-sifat Allah Swt.
Mengenai sifat-sifat Allah Swt., aliran Asy’ariyah mengatakan sifat-sifat Allah Swt. itu merupakan sesuatu yang berada di luar Dzat. Mereka juga menetapkan adanya qudrah, iradah,’ ilm, bayah, sama’, basher dan kalam pada Dzat Allah Swt. Kata mereka, semua itu merupakan sesuatu di luar Dzat-Nya. Mu’tazilah mengatakan bahwa tidak ada sesuatu di luar Dzat-Nya. Adapun yang disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti:’Alim (Maha mengetahui), Khabir (Maha mengenal), Hakim (Maha bijaksana), Bashir(Maha melihat), merupakan nama-nama bagi Dzat Allah Swt. Kemudian al-Maturidi menetapkan sifat-sifat itu bagi Allah Swt., tetapi ia mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu di luar Dzat-Nya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada Dzat-Nya dan tidak pula terpisah dari Dzat-Nya. [27] Al-Maturidi juga menerima segala sesuatu yang disifatkan Allah Swt. kepada diri-Nya sendiri, baik berupa sifat maupun keadaan. Sekalipun demikian, ia menetapkan bahwa Allah Maha Suci dari antropomorfisme (menyerupai bentuk manusia) dan dari mengambil ruang dan waktu. Terhadap ayat-ayat yang mengandung makna sifat-sifat, seperti pernyataan bahwa Allah Swt. mempunyai wajah, tangan, mata dan lainnya, maka al-Maturidi berdiri pada posisi penta’wil dan berjalan di atas prinsipnya, yaitu membawa ayat-ayat yang mutasyabih kepada yang muhkam. [28]

2. Melihat Allah Swt.
Ada beberapa nash Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah Swt. dapat dilihat, seperti firtman Allah:
Artinya: “ Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah, 75: 22-23)
Berdasarkan firman tersebut, al-Maturidi menetapkan bahwa Allah dapat dilihat pada hari kiamat. Ini dikarenakan pada hari kiamat itu merupakan salah satu keadaan khusus.
Maka dari itu para penulis juga setuju dengan pendapat al-Maturidi di atas, apalagi diperkuat dengan firman Allah Swt. Surah Al-Qiyamah: 22-23, karena menurut pendapat kami pada hari kiamat manusia akan berjumpa atau melihat Allah Swt. (bagi orang-orang yang beriman). Namun dalam hal sifat dan bagaimana bentuk Allah Swt., hanya Dialah yang mengetahui, sebagaimana kita tidak mengetahui kapan terjadinya hari kiamat.
3.      Pelaku dosa besar
Al-Maturidi mengatakan bahwa orang mu’min yang berdosa adalah menyerahkan persoalan mereka kepada Allah Swt. Jika Allah Swt. menghendaki maka Dia mengampuni mereka sebagai karunia, kebaikkan dan rahmat-Nya. Sebaliknya, jika Allah Swt. menghendaki, maka Dia menyiksa mereka sesuai dengan kadar dosa mereka. Dengan demikian, orang mu’min berada di antara harapan dan kecemasan. Allah boleh saja menghukum dosa kecil dan mengampuni dosa besar, [29] Setelah Maturidiyah terpecah menjadi dua bagian, yakni aliran Samarkand dan Bukhara, ajaran aliran maturidiyah mengalami perbedaan dan ada juga yang sama di antara ke dua aliran ini, yakni sebagai-berikut:

1.      Mengenai pelaku dosa besar
Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimana dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak diakherat bergantung apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa taubat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, ia akan memasukkannya keneraka, tetapi tidak kekal didalamnya. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik. [30]Ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an Surrah An-Nissa’:48.
2.      Mengenai iman dan kufur
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan.[31] Maturidiyah Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda. Al-Bazdawi menyatakan bahwa iman tidak dapat berkurang, tidak bisa bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dilakukan. Al-Bazdawi menegaskan hal tersebut dengan membuat analogi bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan berfungsi sebagai bayangan dari iman. Jika bayangan itu hilang, esensi yang digambarkan oleh bayangan itu tidak akan berkurang. Sebaliknya, dengan kehadiran baying-bayang (ibadah) itu, iman justru menjadi bertambah. [32]
3.      Mengenai perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia
a.    Mengenai perbuatan Tuhan
Mengenai perbuatan Allah SWT. ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkad dan Maturidiyah BukharaAliran Maturidiyah Samarkad, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, pendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya menyangkut hal-hal yang baik saja. Demikian juga pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan. [33] Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana yang dijelaskan oleh Bazdawi, Tuhan pasti menempati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar.  Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja. [34]



b.    Mengenai perbuatan Manusia
Ada perbedaan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukharah mengenai perbuatan manusia. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut Maturidiyah Samarkand, adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan, maksudnya daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Sedangkan Maturidiyah Bukharah memberikan tambahan dalam masalah daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan bagi-Nya. [35]
4.      Mengenai sifat-sifat Tuhan
Maturidiyah Bukhara berpendapat Tuhan tidaklah mempunyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani haruslah diberi ta’wil. [36] Sedangkan golongan Samarkand mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan, tetapi tidak lain dari Tuhan. Dalam menghadapi ayat-ayat yang memberi gambaran Tuhan bersifat dengan menghadapi jasmani ini. Al-Maturidi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata, dan kaki adalah kekuasaan Tuhan. [37]

5.      Mengenai kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan
Kehendak mutlak Tuhan, menurut Maturidiyah Samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. [38]
Tokoh-tokoh Maturidiyah. 
-          Abu Al Yusr Muhammad al-Badzawi (421 - 493 H)
-           An najm al Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H)

III.                PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam Pembahasan diatas Pemikiran  Al-Asy’ari, Maturidiah ataupun Mu’tazilah sama-sama mempergunakan ra’yu atau akal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teologi yang timbul dikalangan umat islam dimasanya. Perbedaanya diantara aliran-aliran tersebut,  terdapat pada derajat penempatan akal dan wahyu. Kalu Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat dari pada wahyu, Al-Asy’ari   dan Maturidiah sebaliknya, berpendapat lebih mengutamakan wahyu dari pada akal.
Dalam perkembangannya aliran Mu’tazilah  menggunakan kekerasan dalam menyebaran ajaranya siapa yang tak sependapat dengannya dianggap kafir,sehingga ajaran Mu’tazilah pun berakhir. Hanya aliran Al-Asy’ari  dan Maturiyah yang masih ada dianut saat ini yang kita kenal  degan aqidah Ahlu Sunnah wal jama’ah.
B.     Saran
Hendaklah kita menjadi generasi penerus dan pertengahan, bekerjasamalah dengan hal yang disepakati dan berlapan dada akan hal yang berbeda. Selama itu tidak sesat dan tidak menyimpang dari aqidah Islam sah sah saja setiap kita punya kerangka pemikiran tentang Islam dan kata seseorang itu boleh dipercaya boleh tidak kecuali hadits Rasulullah SAW.




DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam (Jakarta: Logos Publishing House, 1996)

Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2000)

Ahmad Hanafi,Teologi Islam (Ilmu Kalam),(Jakarta:PT Bulan Bintang,2001)

Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran –Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.(Jakarta:UI–Press,2013)

Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, Pustaka Setia : Bandung, 1998
Nunun Burhanuddin,Ilmu Kalam dari Tauhid menuju Keadilan.(Jakarta:Prenadamedia Group,2016)

Suryan A.Jamrah, Studi Ilmu Kalam, Program Pascasarjana UIN Suska Riau dan LSFK2P, Pekanbaru : 2007
https//id.m.wikipedia.org,






[1] https//id.m.wikipedia.org,
[2] Sahilun A. Nasir , Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya, (Jakarta:PT Raja  Grafindo Persada,2012) cet ke-2  hlm 2-3
[3] Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, Pustaka Setia : Bandung, 1998, hlm. 189.
[4] Ahmad Hanafi, Theology Islam, Bulan Bintang : Jakarta, 1996, hlm. 70.
[5] Suryan A.Jamrah, Studi Ilmu Kalam, Program Pascasarjana UIN Suska Riau dan LSFK2P, Pekanbaru : 2007, hlm. 144.
[6] http://www.puticknduth.co.cc/aliran.u’tazilah.html/11-01-2011
[7] Nasution, Harun.Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah/hal-43.1987.UI Press:Jakarta
[8] Ibid hal 44
[9] Ibid hal 46
[10] Ibid hal 49
[11] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran –Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.(Jakarta:UI–Press,2013) hal-40
[12] Ahmad Hanafi,Teologi Islam (Ilmu Kalam),(Jakarta:PT Bulan Bintang,2001) hal-46
[13] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,(Bandung: Pustaka Setia, 2007) hal-80
[14] Nunun Burhanuddin,Ilmu Kalam dari Tauhid menuju Keadilan.(Jakarta:Prenadamedia Group,2016) hal-106
[15] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran –Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.(Jakarta:UI –Press,2013) hal-125
[16] Nunun Burhanuddin,Ilmu Kalam dari Tauhid menuju Keadilan.(Jakarta:Prenadamedia Group,2016) hal-111
[17]  Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 147
[18]  Ibid hal 147
[20]  Prof. Dr. H. Abdul Rozak, M.Ag.Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag.,Ilmu Kalam(Bandung : Pustaka Setia,2014)Hlm.148
[21]  Ibid hal 149
[22]  Ibid hal 149
[23]  Ibid hal 149
[24]  Ibid hal 150
[25]  Ibid hal 150
[26] Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), h. 212 - 213

[27] Ibid  hal 218
[28] Ibid hal 219
[29] Ibid hal 222
[30]  http://fajardawn.blogspot.com/2009/05/sekte-sekte-islam.html   
[31] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 149
[32] Ibid hal 151
[33] Ibid hal 157
[34] Ibid., h. 157-158
[35] Ibid., h. 166
[36] Ibid., h. 177
[37] Ibid., h. 178
[38] Nunun Burhanuddin,Ilmu Kalam dari Tauhid menuju Keadilan.(Jakarta:Prenadamedia Group,2016) hal-111

Share on : Facebook Twitter Google+

Tidak ada komentar:

Posting Komentar