ilustrasi, sampul buku gerakan keagamaan |
Oleh : Zulkarnen,S.Pd
Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Lhokseumawe
I. PENDAHULUAN
Gerakan Pemikiran Islam di Periode
klasik ini menarik untuk dikaji khususnya Pemikiran Teologi Islam Klasik. Istilah
teologi yang kemudian dihubungkan dengan Islam sebenarnya tidak dikenal dalam
literatur Islam. Istilah yang populer di kalangan Islam hanyalah: Ushul
al-Din, `Ilm al-`Aqaid, `Ilm Al-Kalam, `Ilm Tawhid. Tetapi dalam perkembangannya,
terutama ketika para ilmuwan Islam mulai bersentuhan dengan kaum intelektual
dari Barat (Kristen), istilah teologi lebih cenderung banyak atau populer dipakai ilmuwan
bila dibandingkan dengan yang khas atau asli dari dunia pemikiran muslim itu
sendiri. Dimana membahas tentang
pengetahuan yang membicarakan mengenai siapa Tuhan, dari mana Tuhan,
dimana Tuhan, dan ruang lingkup kekuasaan-Nya.
Islam yang kita yakini, ketahui, dan tafsirkan selama ini
adalah berasal dari Tuhan, Allah pencipta alam semesta, sejak kenabian Adam as
sampai Muhammad saw. Apa saja yang dikehendaki oleh Tuhan selanjutnya
disampaikan kepada makhluk-Nya yang berjenis manusia. Manusia diberi akal;
melalui akalnya Allah berharap agar setiap manusia mampu menangkap, memahami,
menghayati, serta mengamalkan kehendak tersebut. Kehendak dari Tuhan itu
diberitahukan kepada manusia melalui para nabi/rasul-Nya agar mereka tidak
keluar dari kehendak-Nya. Di sinilah terjadi pertemuan antara wahyu dengan
akal. Hasil akal yang bila dioptimalkan penggunaannya tidak bertentangan
dengan wahyu dari Allah, sebab akal adalah alat berpikir, sedangkan wahyu
adalah tuntunan atau bimbingan dari Tuhan.
Akal yang
diberikan Tuhan kepada manusia sangat strategis dan mempunyai kedudukan tinggi
dalam ajaran Islam. Dengan demikian, dalam perjalanan hidup ini, setiap manusia
pada dasarnya memperoleh dua “pintu” pengetahuan, yaitu (1) wahyu, dan (2) akal.
Tuhan yang memberitahukan tentang kehendak itu bernama kalam atau wahyu.
Kandungan kalam atau wahyu itulah yang kemudian kita kenal dengan ajaran Tuhan.
Berdasarkan informasi kalam tersebut , sebagaimana yang termaktub di dalam
Alquran kitab suci agama Islam. Seluruh kehendak atau kalam itu bersifat
petunjuk atau pedoman kehidupan manusia yang kemudian kita sebut sebagai ajaran
Islam.
Apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi Muhammad pada awalnya
tunggal, yakni diterima dan disampaikan oleh satu orang, yaitu Nabi Muhammad
saw dan disampaikan serta dipraktikkan langsung oleh beliau semasa hidupnya.
Maka, Nabi Muhammad saw saat itu adalah satu-satunya sumber yang menyampaikan
Islam, menginterpretasikan wahyu yang diterima dari Allah, serta mempraktikkan
bagaimana seharusnya ajaran Islam itu diamalkan. Beliau adalah tempat bertanya
dan mengembalikan bagaimana solusi menurut ajaran Islam bila ada masalah yang
timbul atau dihadapi oleh umat, baik dalam hubungannya dengan masalah
keduniawian maupun masalah keakhiratan.
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, akal
semakin banyak memikirkan berbagai sisi kehidupan, masalah hidup dan kehidupan
semakin kompleks, teks wahyu yang termaktub di dalam kitab Alquran membuka
peluang kepada siapa pun untuk menafsirkan sesuai dengan masalah kehidupan dan
tanggung jawab moralnya, maka wahyu Tuhan tersebut melahirkan berbagai
pandangan. Pandangan tersebut berasal dari para ahli agama Islam yang disebut
ulama (bukan ahli fiqh saja) dalam upayanya membimbing umat manusia kepada
jalan yang dikehendaki-Nya. Karena berbagai perbedaan yang melatarbelakangi
seorang ulama, maka lahirlah kemudian istilah “aliran” baik dalam hal fiqih maupun aqidah kalau dalam
bidang fiqih lahirlah “mazhab”. Dan dalam hal
aqidah lahirlah aliaran aliran pemikiran khususnya dalam makalah ini penulis
mempersempih kajian khusus pemikiran aliran Mu’tazillah, Asy’ariyah dan Maturidiyah.
A.
Rumusan
Masalah
Dari
uraian di atas yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah;
1. Bagaimana latar belakang lahirnya aliran dalam islam periode klasik ;
Mu’tazillah, Asy’ariah dan Maturidiyah ?
2.
Bagaimana pemikiran aliran Mu’tazillah, Asy’ariah dan Maturidiyah ?
B.
Tujuan
Maka
yang menjadi tujuan makalah ini dalah;
1.
Untuk mengetahui latar belakang lahirnya aliran Islam Periode
klasik ; Mu’tazillah, Asy’ariyah dan
Maturidiah.
2.
Untuk mengetahui pemikiran dari aliran ; Mu’tazillah, Asy’ariyah dan Maturidiah
I.
LANDASAN
TEORITIS
A.
Pengertian
Teologi
Gerakan Pemikiran Teologi
adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan
keyakinan agama.[1]
Dalam agama islam teologi disebut juga ilmu kalam ataupun ilmu tauhid. Menurut Ibnu
Khaldun (1333-1406) seperti yang dikutip oleh Sahulun A Nasir
dalam buku Teologi Islam (ilmu kalam) pengertian
ilmu kalam adalah ilmu yang berisi alasan – alasan mempertahankan
kepercayaan – kepercayaan iman, dengan
mempergunakan dalil – dalil pemikiran berisi
batahan – bantahan terhadap orang – orang yang menyeleweng dari kepercayaan
salaf dan ahli sunnah.[2]
Maka yang menjadi maksud teologi disini adalah ilmu
yang membahas ketuhana ataupun pemikiran/keyakinan aliran-aliran dalam agama
islam.
B.
Latar belakang Berdirinya Mu’tazillah, Asy’ariyah dan Maturidiah.
1. Mu’tazillah
Mu’tazilah
lahir di Bashrah (Irak) abad ke-2 Hijriyah, antara
tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan
dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah
mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi
Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H.
Di dalam menyebarkan ajarannya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang
gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu
pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq
Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala,
karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani
hal. 46-48).Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin
berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka
mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun.
Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli
kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an
dan As Sunnah). (Al-Milal Wan-Nihal, hal.29). Oleh karena itu, tidaklah
aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada
syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’, pen) dan akal-lah sebagai kata pemutus
dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal, menurut persangkaan
mereka maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. (Lihat kata
pengantar kitab Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar,
1/65).
2.
Asy‘Ariyah
Pendiri
aliran as’ariyah bernama Abul hasan ali bin ismail al-asyari, keturunan dari
abu musa al-asy’ari, sala seorang perantara dalam sengketa antara ali dan
mu’awiyah. Al-asyari lahir pada tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324
H/935 M. Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang mu’tazilah terkenal, yaitu
al-jubai, ia mempelajari aliran-aliran mu’taziah dan mendalaminya. Aliran ini
di ikutinya terus sampai berusia 40 tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya di
gunakan untuk mengarang buku-bku kemu’tazilahan. Ketika
mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya selama 15 hari, kemudian
pergi ke masjid basrah. Di depan orang banyak ia menyatakan bahwa al-qur’an
adalah mahluk, tuhan tidak dapat di lihat mata kepala, perbuatan buruk manusia
sendiri yang memperbuatnya (semua aliran mu’tazilah).kemudian ia mengatakan
:”saya tidak lagi memegangi pendapat-pendapat tersebut,saya harus menolak paham
orang-orang mu’tazilah da menunjukkan keburukan dan kelemahanya.mulai pada saat
itu beliau meninggalkan aliran mu’tazilah yang selama ini di anutnya. Sebab
utama ia meninggalkan aliran mu’tazilah ialah adanya perpecahan yang di lakukan
kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka kalau tidak segera di ahiri.
Sebagai seorang muslim yang sangat gairah terhadap keutuhan kaum muslimin, ia
sangat mengkhawatirkan keutuhan al-qur’an dan hadis menjadi korban paham-paham
kaum mu’tazilah. Yang menurut pendapatnya tidak dapat di benarkan, karena di
dasarkan atas pemujaan akal fikiran sebagaimana juga di khawtirkan menjadi
korban sikap ahli hadis anthropomorphis yang hanya memeganginas-nas dengan
meninggalkan jiwanya dan hampir-hampir menyeret islam kepada kelemahan,
kebekuan yang tidak dapat di benarkan agama. Al-asy’ari karenanya mengambil
jalan tengah antara golonga rasionalis dan golongan tekstualis dan ternyata
jalan tersebut dapat di terima oleh mayoritas kaum muslimin.
3.
Maturidiyah
Aliran Maturidiyah lahir di Samarkand pada
pertengahan abad IX M. Pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad Ibnu Muhammad ibn
Mahmud Al-Maturidi.[3] Maturidiyah semasa hidupnya dengan
Asy’ary, hanya dia hidup di Samarkand sedangkan Asy’ary hidup di Basrah.
Asy’ary adalah pengikut Syafii dan Maturidy pengikut Mazhab Hanafy. Karena itu
kebanyakan pengikut Asy’ary adalah orang-orang Sufiyyah, sedang pengikut
pengikut Maturidy adalah orang-orang Hanafiah[4] Maturidiyah muncul sebagai reaksi terhadap pemikiran
Mu’tazilah. Reaksi ini timbul karena adanya perbedaan pendapat antara aliran
Mu’tazilah dan aliran Maturidiyah diantaranya[5] yaitu : Maturidiyah berpendapat bahwa kewajiban megenai Allah
mungkin dapat diketahui oleh akal. Dalam hal ini, Maturidiyah tidak menggunakan
tern wajib seperti yang digunakan oleh Mu’tazilah. Sementara asy’ariyah
berpendapat kewajiban mengetahui ‘tidak mungkin’ melalui akal.
II.
PEMBAHASAN
A.
Pemikiran Mu’tazillah
Mu’tazilah
dikenal sebagai golongan tradisional dalam Islam, karena di antara yang ada,
dialah yang paling banyak memberi fungsi terhadap akal dalam membahas masalah
keagamaan. Namun demikian, untuk mengetahui secara jelas corak pemikiran aliran
Mu’tazilah, maka yang menjadi pembahasan utama dalam persoalan tersebut adalah
peranan akal dalam kehidupan umat manusia, karena manusia dalam hidupnya di
beri dua hal yang menjadi pedoman baginya agar tidak sesat, yaitu akal dan
wahyu. Jika diperhatikan pembahasan tentang fungsi akal dan wahyu dalam
kehidupan beragama di kalangan Mutakallimin, senantiasa dihubungkan dengan 4
masalah pokok, yaitu: 1) Mengetahui Tuhan, 2) Mengetahui kewajiban Tuhan, 3)
Mengetahui baik dan buruk, 4) Mengetahui kewajiban melaksanakan yang baik dan
menjauhi yang buruk.[6] Aliran Mu’tazilah dalam
melihat masalah tersebut mengatakan bahwa keempat masalah di atas bisa
diketahui akal. Akal dapat dijadikan pedoman dalam menentukan baik dan buruknya
sesuatu sebelum datangnya wahyu, sehingga wajib untuk melakukan penalaran yang
mapan agar dapat mengantar manusia untuk mengetahui kewajiban-kewajibannya.
Karena itu, akal yang sudah sempurna merupakan sumber pengetahuan yang dapat
mengetahui apa yang mendatangkan mudharat dan dosa. Akal yang sudah sempurna
itu dimiliki oleh orang yang sudah mukallaf, sehingga hanya dialah yang dapat
mengetahui 4 masalah tersebut di atas.
Meskipun
demikian, tidaklah berarti bahwa semua masalah secara rinci dapat diketahui
oleh akal, tetapi ada hal-hal tertentu dimana akal sangat membutuhkan
penjelasan wahyu karena akal mempunyai keterbatasan, yaitu dalam perincian
terhadap baik dan buruk serta kewajiban umat manusia. Al Jabbar menjelaskan
bahwa akal hanya dapat mengetahui sebahagian yang baik dan buruk serta
kewajiban, sehingga wahyulah yang menyempurnakan pengetahuan akal tersebut,
termasuk menjelaskan cara berterima kasih kepada Tuhan, seperti shalat, zakat,
dan puasa. [7] Karena itu, ada
pengetahuan baik yang diketahui oleh akal dan ada yang diketahui oleh wahyu,
begitu pula dalam hal yang buruk. Fungsi lain dari wahyu dalam pandangan aliran
Mu’tazilah dikemukakan oleh al Syahrastaniy yaitu mengingatkan manusia tentang
kewajibannya dan mempercepat untuk mengetahuinya. [8] Di
sini dapat dipahami bahwa jika melalui akal memerlukan waktu yang lama karena
harus ada pengamatan, kemudian dipikirkan lalu mengambil keputusan. Oleh Harun
Nasution dikatakan bahwa fungsi wahyu terhadap akal sebagai informasi dan
konfirmasi. [9] Memberikan informasi
terhadap apa yang belum diketahui oleh akal di samping mengkonfirmasikan apa
yang telah diketahui akal. Aboe Bakar Atjeh menjelaskan tentang fungsi akal
bagi aliran Mu’tazilah yaitu akal dapat menjangkau segala persoalan kehidupan
manusia, sehingga apa yang dihasilkan oleh akal harus di terima. Jika terjadi
pertentangan antara hasil akal dengan ketentuan wahyu, misalnya terhadap
ayat-ayat mutasyabihat, maka harus di ta’wilkan agar sesuai dengan ketentuan
akal. [10]
Aliran Mu’tazilah timbul sebagai bentuk reaksi
atas pertentangan antara kaum khawarij
dan Murji’ah atas penetapan kedudukan orang yang berdosa besar. Aliran ini membawa persoalan-persoalan
teologi yang lebih mandalam dan bersifat filosofis. Dalam pembahasannya mereka
banyak memakai akal sehingga mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.[11]
Dalam
pengembangan pemikirannya Aliran Muktazillah mempunyai lima ajaran penting yaitu At-Taauhid (Tauhid),
Ad-Adl (keadilan), Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman), Al-Manzilah
bain al-Manzilatain (posisi di Antara Dua Posisi) dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
(Perintah Mengerjakan Kebajikan dan Melarang Kemungkaran)[12].
Yang akan diuraikan sebagai berikut;
a. At-Taauhid
(Tauhid)
Ajaran pertama aliran ini
berarti meyakini sepenuhnya bahwa hanya Allah SWT. Konsep tauhid menurut mereka
adalah Tuhanlah satu-satunya yang Esa, hanya Dialah yang qadim. untuk memurnikan keesaanNya kaum Mu’tazila menolak adanya
sifat-sifat Allah, menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat, bila sifat
Tuhan qadim, berarti ada 2 yang qadim yaitu dzat dan sifat-Nya[13].
Dan menggap Alquran merupakan manifestasi kalam Allah dan Alquran itu baru
(makhluk) karena Alqur’an berupa rangkaian huruf, kata-kata dan bahasa yang
ditulis[14].
b. Ad-Adl (keadilan)
Muktazillah pemahaman keadilan
Tuhan mempunyai pengertian bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil Dia
berbuat zalim kepada hamba-Nya. Mereka berpendapat bahwa tuhan wajib berbuat
yang terbaik bagi manusia[15].
Misalnya, tidak memberi beban terlalu berat, mengirimkan nabi dan rasul, serta
memberi daya manusia agar dapat mewujudkan keinginannya.
c. Al-Wa’d wa
al-Wa’id (Janji dan Ancaman).
Menurut Muktazillah, Tuhan
wajib menepati janji-Nya memasukkan orang mukmin ke dalam surga. Begitu juga
menempati ancaman-Nya mencampakkan orang kafir serta orang yang berdosa besar
ke dalam neraka.
d. Al-Manzilah bain
al-Manzilatain (posisi di Antara Dua Posisi).
Pemahaman ini merupakan ajaran
dasar pertama yang lahir di kalangan Muktazillah. Pemahaman ini yang menyatakan
posisi orang Islam yang berbuat dosa besar. Orang jika melakukan
dosa besar, ia tidak lagi sebagai orang mukmin, tetapi ia juga tidak kafir.
Kedudukannya sebagai orang fasik. Jika meninggal sebelum bertobat, ia
dimasukkan ke neraka selama-lamanya. Akan tetapi, sikasanya lebih ringan
daripada orang kafir.
e. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Dalam prinsip Muktazillah,
setiap muslim wajib menegakkan yang ma’ruf dan menjauhi yang mungkar.bagi
mereka kalau dapat ia dilaksanakan dengan seruan saja dan jika perlu dapat
dilaksanakan dengan kekerasan,[16]
dalam sejarah, mereka pernah memaksakan ajarannya kepada kelompok lain,Orang
yang menentang akan dihukum.konsep inilah yang disinyalir membawa kehancuran
Mu’tazila.
Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah
-
Washil bin ‘Atha al Ghazzal (699-748 M), sebagai
pendiri aliran Mu’tazilah yang pertama dan peletak lima besar ajaran
Mu’tazilah.
-
Abul al-Huzail al-Allaf (135-226 H / 753-840 M),
-
Ibrahim bin Sayyar an Nazzam( w 231 H/845 M),
-
Muammar bin Abbad as-Sulamy (w 220 H/ 835 M)
-
Al- Jubai (w 295 H)
Dan
Masih banya lainnya
B.
Pemikran Asy’ariyah
Formulasi pemikiran Al – Asy’ari, secara esensial menampilkan sebuah upaya
sintesis antar formulasi ortodoks ekstrem pada satu sisi dan Mu’tazilah pada
sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat Ortodoks.
Aktualitas formulasinya jelas menampakan sifat yang reaksionis terhadap
Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak bisa 100% menghindarinya. [17] Corak pemikiran yang sintesis ini,
menurut Watt dipengaruhi teologi kullabiah (teologi sunni yang dipelopori Ibn
Kullab)(w.854 M) [18]
Pemikiran – Pemikiran Al – Asy’ari yang terpenting adalah sebagai berikut :
a.
Tuhan dan Sifat –
Sifat – Nya
Perbedaan Pendapat di kalangan mutakalimin mengenai sifat – sifat Allah
tidak dapat dihindarkan meskipun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah
wajib hukumnya. Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan yang ekstrem. Pada
satu pihak, ia berhadapan dengan kelompok sifatiah (pemberi sifat), kelompok
mujassimah (antropomosif), dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa
allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam al – quran dan sunnah bahwa
sifat – sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Pada pihak lain, ia
berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat – sifat
allah tidak lain selain esensi – Nya, dan tangan, kaki,telingan allah atau arsy
atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi harus dijelaskan secara
alegoris. Menghadapi dua kelompok yang berbeda tersebut, Al-Asy’ari berpendapat
bahwa allah memiliki sifat – sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah) dan sifat –
sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara
harfiah, tetapi secara simbolis (berbeda dengan pendapat kelompok sifatiah).
Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat – sifat allah unik dan tidak
dapat dibandingkan dengan sifat – sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat –
sifat Allah berbeda dengan Allah, tetapi sejauh menyangkut realitasnya tidak
terpisah dari esensi – Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan Nya[19]
b.
Kebebasan Dalam
Berkehendak
Manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan serta
mengaktualisasikan perbuatanya. Al-Asy’ari mengambil pendapat menengah di antar
dua pendapat yang ekstrem, yaitu Jabariah yang fatalistic dan menganut paham
pra – determinisme semata – mata, dan Mu’tazilah yang menganut paham kebebasan
mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatanya sendiri. [20] Untuk menengahi dua pendapat diatas,
Al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta
(khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah yang mengupayakanya. Hanya
Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu[21]
c. Akal Dan
Wahyu dan Kriteria baik dan buruk
Meskipun Al-Asy’ari dan orang –
orang Mu’tazlah mengakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam
menghadapi persoalanyang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan
wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementar mu’tazilah mengutamakan akal[22].
d. Qadimnya Al-Qur’an
Mu’tazilah mengatakan bahwa Al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tak
qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa
Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriah bahkan
berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur'an adalah qadim. Dalam
rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu
Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf
dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.
Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al- Asy’ari tidaklah diciptakan
sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat: [23]
Artinya: “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah ia. (Q.S. An-Nahl:40)
Artinya: “Sesungguhnya perkataan Kami
terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya:
"Kun (jadilah)", maka jadilah ia. (Q.S. An-Nahl:40)
e. Melihat Allah
Al – Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok Otodoks ekstrem, terutama
Zahiriah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai
bahwa Allah bersemayam di ‘Arsy. Selain itu, Al-Asy’ari tidak sependapat dengan
Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullahdi akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa
Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak digambarkan.
Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Allah menyebabkan dapat dilihat atau Ia
menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya[24]
f. Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa allah itu adil. Mereka
hanya berbeda dalam cara pandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat
dengan ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan allah berbuat adil sehingga ia harus
menyiksa orang yang salah dan member pahala kepada orang yang berbuat baik.
Al-Asy’ari berpendapat bahwa allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia
adalah Penguasa Mutlak. Jika Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia
yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa allah adalah
pemilik mutlak.
g. Kedudukan Orang Berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut
Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat
bagi seorang harus satu diantaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena
itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin
yang fasik sebagai iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur. [25]
Berikut
tokoh-tokoh aliran Asy’ariyah yang terkenal antara
lain :
1. Al Baqilani (wafat 403 H)
2. Ibnu Faruak (wafat 406 H)
3. Ibnu Ishak al Isfarani (wafat 418 H)
4. Abdul Kahir al Bagdadi (wafat 429 H)
5. Imam al Haramain al Juwaini (wafat 478 H)
6. Abdul Mudzaffar al Isfaraini (wafat 478 H)
7. Al Ghazali (wafat 505 H)
8. Ibnu Tumart (wafat 524 H)
9. As Syihristani (wafat 548)
10. Ar Razi (1149-1209 M)
11. Al Iji (wafat 756 H)
12. Al Sanusi (wafat 895)
1. Al Baqilani (wafat 403 H)
2. Ibnu Faruak (wafat 406 H)
3. Ibnu Ishak al Isfarani (wafat 418 H)
4. Abdul Kahir al Bagdadi (wafat 429 H)
5. Imam al Haramain al Juwaini (wafat 478 H)
6. Abdul Mudzaffar al Isfaraini (wafat 478 H)
7. Al Ghazali (wafat 505 H)
8. Ibnu Tumart (wafat 524 H)
9. As Syihristani (wafat 548)
10. Ar Razi (1149-1209 M)
11. Al Iji (wafat 756 H)
12. Al Sanusi (wafat 895)
C.
Maturidiyah
Sebelum kita memahami
konsep ajaran dari aliran Maturidiyah sebelum terpecah menjadi dua golongan,
kita harus tahu konsep pemikiran al-Maturudi terlebih dahulu yakni
kewajiban ma’rifah terhadap Allah Swt.
mungkin di temukan berdasarkan penalaran akal, sebagaimana Allah Swt. telah
memerintahkan untuk melakukan penalaran dalam sejumlah ayat Al-Qur’an. Allah
Swt. memerintahkan kepada manusia untuk berpikir mengenai kerajaan langit dan
bumi dan memberikan pengarahan kepada manusia bahwa sekira akal pikiran
diarahkan secara konsisten, terlepas dari hawa nafsu dan taklid. [26] Maka dari itu,
al-Maturudi memberikan kontribusi pemikirannya kurang lebih tiga ajaran yakni:
1.
Mengenai sifat-sifat Allah Swt.
Mengenai sifat-sifat Allah Swt., aliran Asy’ariyah
mengatakan sifat-sifat Allah Swt. itu merupakan sesuatu yang berada di luar
Dzat. Mereka juga menetapkan adanya qudrah, iradah,’ ilm, bayah,
sama’, basher dan kalam pada Dzat
Allah Swt. Kata mereka, semua itu merupakan sesuatu di luar Dzat-Nya.
Mu’tazilah mengatakan bahwa tidak ada sesuatu di luar Dzat-Nya. Adapun yang
disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti:’Alim (Maha mengetahui), Khabir (Maha mengenal), Hakim (Maha bijaksana), Bashir(Maha melihat), merupakan nama-nama bagi Dzat
Allah Swt. Kemudian al-Maturidi menetapkan sifat-sifat itu bagi Allah Swt., tetapi ia
mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu di luar Dzat-Nya, bukan pula
sifat-sifat yang berdiri pada Dzat-Nya dan tidak pula terpisah dari Dzat-Nya. [27] Al-Maturidi juga
menerima segala sesuatu yang disifatkan Allah Swt. kepada diri-Nya sendiri,
baik berupa sifat maupun keadaan. Sekalipun demikian, ia menetapkan bahwa Allah
Maha Suci dari antropomorfisme (menyerupai
bentuk manusia) dan dari mengambil ruang dan waktu. Terhadap ayat-ayat yang
mengandung makna sifat-sifat, seperti pernyataan bahwa Allah Swt. mempunyai
wajah, tangan, mata dan lainnya, maka al-Maturidi berdiri pada posisi penta’wil
dan berjalan di atas prinsipnya, yaitu membawa ayat-ayat yang mutasyabih kepada yang muhkam. [28]
2. Melihat Allah Swt.
Ada beberapa nash Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah Swt. dapat dilihat,
seperti firtman Allah:
Artinya: “ Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah, 75: 22-23)
Berdasarkan firman tersebut, al-Maturidi menetapkan
bahwa Allah dapat dilihat pada hari kiamat. Ini dikarenakan pada hari kiamat
itu merupakan salah satu keadaan khusus.
Maka dari itu para penulis juga setuju dengan pendapat al-Maturidi di atas,
apalagi diperkuat dengan firman Allah Swt. Surah Al-Qiyamah: 22-23, karena
menurut pendapat kami pada hari kiamat manusia akan berjumpa atau melihat Allah
Swt. (bagi orang-orang yang beriman). Namun dalam hal sifat dan bagaimana
bentuk Allah Swt., hanya Dialah yang mengetahui, sebagaimana kita tidak mengetahui
kapan terjadinya hari kiamat.
3.
Pelaku dosa besar
Al-Maturidi mengatakan bahwa orang mu’min yang berdosa adalah menyerahkan
persoalan mereka kepada Allah Swt. Jika Allah Swt. menghendaki maka Dia
mengampuni mereka sebagai karunia, kebaikkan dan rahmat-Nya. Sebaliknya, jika
Allah Swt. menghendaki, maka Dia menyiksa mereka sesuai dengan kadar dosa
mereka. Dengan demikian, orang mu’min berada di antara harapan dan kecemasan.
Allah boleh saja menghukum dosa kecil dan mengampuni dosa besar, [29] Setelah Maturidiyah terpecah menjadi dua
bagian, yakni aliran Samarkand dan Bukhara, ajaran aliran maturidiyah mengalami
perbedaan dan ada juga yang sama di antara ke dua aliran ini, yakni
sebagai-berikut:
1.
Mengenai pelaku dosa besar
Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa
pelaku dosa besar masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimana dalam
dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak diakherat bergantung apa yang
dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa taubat terlebih dahulu,
keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Jika menghendaki
pelaku dosa besar itu diampuni, ia akan memasukkannya keneraka, tetapi tidak
kekal didalamnya. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada
manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk
orang musyrik. [30]Ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an Surrah An-Nissa’:48.
2.
Mengenai iman dan kufur
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand
berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan.[31] Maturidiyah Bukhara
mengembangkan pendapat yang berbeda. Al-Bazdawi menyatakan bahwa iman tidak
dapat berkurang, tidak bisa bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dilakukan.
Al-Bazdawi menegaskan hal tersebut dengan membuat analogi bahwa ibadah-ibadah
yang dilakukan berfungsi sebagai bayangan dari iman. Jika bayangan itu hilang,
esensi yang digambarkan oleh bayangan itu tidak akan berkurang. Sebaliknya,
dengan kehadiran baying-bayang (ibadah) itu, iman justru menjadi bertambah. [32]
3.
Mengenai perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia
a.
Mengenai perbuatan
Tuhan
Mengenai perbuatan Allah SWT. ini, terdapat perbedaan
pandangan antara Maturidiyah Samarkad dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidiyah
Samarkad, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan
kehendak mutlak tuhan, pendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya menyangkut hal-hal
yang baik saja. Demikian juga pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand
sebagai kewajiban Tuhan. [33] Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai
faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana yang dijelaskan
oleh Bazdawi, Tuhan pasti menempati janji-Nya, seperti memberi upah kepada
orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi
orang yang berdosa besar. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara tentang
pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja. [34]
b.
Mengenai perbuatan
Manusia
Ada perbedaan antara Maturidiyah Samarkand dan
Maturidiyah Bukharah mengenai perbuatan manusia. Kehendak dan daya berbuat pada
diri manusia, menurut Maturidiyah Samarkand, adalah kehendak dan daya manusia
dalam arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan, maksudnya daya untuk
berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya.
Sedangkan Maturidiyah Bukharah memberikan tambahan dalam masalah daya. Manusia
tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat
mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan
Tuhan bagi-Nya. [35]
4.
Mengenai sifat-sifat Tuhan
Maturidiyah Bukhara berpendapat Tuhan tidaklah mempunyai sifat-sifat
jasmani. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat
jasmani haruslah diberi ta’wil. [36] Sedangkan golongan Samarkand mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan, tetapi
tidak lain dari Tuhan. Dalam menghadapi ayat-ayat yang memberi gambaran Tuhan
bersifat dengan menghadapi jasmani ini. Al-Maturidi mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan tangan, muka, mata, dan kaki adalah kekuasaan Tuhan. [37]
5.
Mengenai kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan
Kehendak mutlak Tuhan, menurut Maturidiyah Samarkand, dibatasi oleh
keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah
baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan
kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Adapun Maturidiyah Bukhara
berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang
dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang menentang atau
memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. [38]
Tokoh-tokoh
Maturidiyah.
-
Abu Al Yusr Muhammad
al-Badzawi (421
- 493 H)
-
An najm al Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H)
III.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam Pembahasan diatas Pemikiran Al-Asy’ari, Maturidiah ataupun Mu’tazilah
sama-sama mempergunakan ra’yu atau akal dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan teologi yang timbul dikalangan umat islam dimasanya. Perbedaanya diantara aliran-aliran tersebut, terdapat pada derajat penempatan akal dan
wahyu. Kalu Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat dari
pada wahyu, Al-Asy’ari dan Maturidiah
sebaliknya, berpendapat lebih mengutamakan wahyu dari pada akal.
Dalam
perkembangannya aliran Mu’tazilah menggunakan kekerasan dalam menyebaran ajaranya
siapa yang tak sependapat dengannya dianggap kafir,sehingga ajaran Mu’tazilah
pun berakhir. Hanya aliran Al-Asy’ari
dan Maturiyah yang masih ada dianut saat ini yang kita kenal degan aqidah Ahlu Sunnah wal jama’ah.
B. Saran
Hendaklah
kita menjadi generasi penerus dan pertengahan, bekerjasamalah dengan hal yang disepakati
dan berlapan dada akan hal yang berbeda. Selama itu tidak sesat dan tidak
menyimpang dari aqidah Islam sah sah saja setiap kita punya kerangka pemikiran
tentang Islam dan kata seseorang itu boleh dipercaya boleh tidak kecuali hadits
Rasulullah SAW.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam (Jakarta:
Logos Publishing House, 1996)
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2000)
Ahmad Hanafi,Teologi Islam (Ilmu Kalam),(Jakarta:PT Bulan Bintang,2001)
Harun
Nasution, Teologi Islam, Aliran –Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan.(Jakarta:UI–Press,2013)
Muhammad
Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, Pustaka Setia : Bandung, 1998
Nunun Burhanuddin,Ilmu Kalam dari Tauhid menuju Keadilan.(Jakarta:Prenadamedia
Group,2016)
Suryan A.Jamrah, Studi Ilmu Kalam,
Program Pascasarjana UIN Suska Riau dan LSFK2P, Pekanbaru : 2007
https//id.m.wikipedia.org,
[2] Sahilun A.
Nasir , Pemikiran
Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2012) cet ke-2 hlm 2-3
[5] Suryan A.Jamrah, Studi Ilmu Kalam,
Program Pascasarjana UIN Suska Riau dan LSFK2P, Pekanbaru : 2007, hlm. 144.
[6]
http://www.puticknduth.co.cc/aliran.u’tazilah.html/11-01-2011
[7] Nasution,
Harun.Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah/hal-43.1987.UI
Press:Jakarta
[11] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran –Aliran Sejarah
Analisa Perbandingan.(Jakarta:UI–Press,2013) hal-40
[13] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu
Kalam,(Bandung: Pustaka Setia, 2007) hal-80
[14] Nunun
Burhanuddin,Ilmu Kalam dari Tauhid menuju
Keadilan.(Jakarta:Prenadamedia Group,2016) hal-106
[15] Harun
Nasution, Teologi Islam, Aliran –Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan.(Jakarta:UI –Press,2013) hal-125
[16] Nunun
Burhanuddin,Ilmu Kalam dari Tauhid menuju
Keadilan.(Jakarta:Prenadamedia Group,2016) hal-111
[20] Prof. Dr. H. Abdul
Rozak, M.Ag.Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag.,Ilmu Kalam(Bandung :
Pustaka Setia,2014)Hlm.148
[26] Abd. Rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan ‘Aqidah
dalam Islam (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), h. 212 - 213
[34] Ibid., h. 157-158
[38] Nunun
Burhanuddin,Ilmu Kalam dari Tauhid menuju
Keadilan.(Jakarta:Prenadamedia Group,2016) hal-111
Tidak ada komentar:
Posting Komentar